Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Daffa Batubara
Peneliti

Peneliti CELIOS (Center of Economic and Law Studies)

Angan-angan Swasembada Daging Sapi

Kompas.com - 21/04/2024, 07:58 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Besaran itu tidak cukup untuk para peternak rumah tangga yang berhasil mencetak sapi dengan bobot jumbo dalam kurun waktu ternak lebih dari satu tahun.

Di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, harga anak sapi yang dari segi postur memiliki potensi jumbo menyentuh belasan juta rupiah. Belum lagi kebutuhan untuk pakan.

Kejadian yang lebih pedih lagi, sampai hari ini banyak peternak yang tidak mendapat ganti rugi setelah hewan ternaknya mati karena PMK. Pastinya ini menyangkut pengawasan wabah dan pendataan hewan ternak yang masih berantakan.

Sampai 2024, PMK tak kunjung pergi. Informasi dari detikJatim, bulan Februari lalu, PMK kembali menyerang Kabupaten Pasuruan setelah mereda beberapa waktu. Selama 7 hari, ditemukan 145 kasus PMK dan 31 ekor sapi tak terselamatkan.

Pemerintah telah abai mengurus PMK. Sampai Menteri Pertanian sebelumnya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), belum ada pernyataan resmi dari Pemerintah terkait penyebab PMK yang kembali masuk setelah 36 tahun Indonesia dinyatakan bebas dari wabah tersebut.

Lantas bagaimana kita bisa mengantisipasi kejadian serupa di masa depan?

Hampir setiap ahli manajemen mengutarakan perencanaan menempati urutan pertama dalam proses manajemen. Namun perencanaan tidak berdiri sendiri. Sebelumnya perlu mendapatkan beragam informasi yang akan menentukan langkah perencanaan kita.

Kalau dalam manajemen produksi, kita mungkin mengenal istilah input, process, dan output (IPO). Informasi penyebab masuknya PMK berada dalam pusaran input, process merupakan kegiatan mengelaborasi, dan output dari itu ialah kebijakan serta penyelenggaraannya.

Tanpa mengetahui penyebab masuknya PMK, mustahil kita semua akan bebas dari wabah ganas itu. Atau jangan-jangan Pemerintah telah mengetahui, namun karena kesalahannya sendiri ia malu untuk memberitahu publik.

Faktor kedua yang dirasa membuat populasi sapi potong berkurang, yakni mengikisnya minat beternak di masyarakat, terutama dalam sektor pengembangbiakan.

Alasan sejumlah masyarakat desa yang penulis temui cukup masuk akal. Salah satunya, biaya perawatan yang mahal jika ingin menghasilkan anak sapi (pedet) berkualitas.

Alasan berikutnya adalah risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggemukan. Bagi mereka, masyarakat desa yang penulis temui, daya tahan tubuh pedet masih belum se-prima usia di atasnya. Alhasil tidak jarang pedet menemui ajal sebelum usianya berkembang.

Trauma akibat PMK dan tingginya biaya beternak menjadi dua hal yang mengganjal swasembada daging sapi.

Kacaunya data dan profesionalitas Pemerintah dalam mengelola dunia peternakan menambah beban untuk kita menggapai angan-angan swasembada.

Apabila Pemerintah masih memiliki keinginan untuk merealisasi swasembada daging sapi, sudah selayaknya melakukan banyak hal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com