Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Mengurai Keringanan Pajak Kendaraan

Kompas.com - 10/06/2024, 10:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Untuk kendaraan pertama dikenai 2 persen, kendaraan kedua dikenai 3 persen, dan seterusnya hingga maksimum 6 persen.

Meski demikian, tarif progresif ini umumnya hanya berlaku bagi kendaraan yang terdaftar atas nama orang pribadi. Sementara atas kendaraan atas nama badan usaha, tarif biasanya dikenakan tetap berapa pun jumlah kendaraannya. Di DKI Jakarta, tarifnya dikenakan rata (flat) sebesar 2 persen.

Sebenarnya, ada tujuan positif mengapa tarif dikenakan progresif untuk orang pribadi. Tarif yang berjenjang diharapkan dapat memitigasi angka kemacetan dan emisi polutan akibat kepemilikan kendaraan dalam jumlah berlebihan di masyarakat.

Dalam praktiknya, pencapaian tujuan tersebut menghadapi tantangan karena berisiko disiasati pemilik kendaraan.

Ketentuan UU HKPD menetapkan jumlah kepemilikan kendaraan didasarkan pada nama, nomor induk kependudukan (NIK), atau alamat yang sama.

Akibatnya, untuk menghindari pajak progresif, sebanyak 30 persen kendaraan diperkirakan justru terdaftar atas nama orang lain (Kompas.com, 23/3/2023).

Ini menjadi salah satu alasan mengapa PKB progresif dan BBNKB II kemudian diusulkan untuk dihapus (Kompas.com, 25/8/2022). Di banyak daerah, usulan penghapusan tarif progresif PKB mulai dijalankan tahun ini.

Sementara itu, UU HKPD mewajibkan seluruh provinsi untuk membebaskan bea balik nama kendaraan bekas paling lambat 2025.

Keputusan ini mengubah kebijakan yang sebelumnya diatur UU PDRD, di mana BBNKB II dapat dipungut paling tinggi 1 persen dari Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) yang tercantum pada Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

Misalnya, untuk pembelian mobil bekas dengan NJKB senilai Rp 200 juta, mulanya terdapat biaya BBNKB paling tinggi Rp 2 juta dalam mengurus BPKB dan STNK pemilik baru. Kini, biaya tersebut tidak lagi dibebankan ketika balik nama kendaraan bekas.

Kebijakan relaksasi pajak kendaraan ini tentu menjadi angin segar bagi banyak pihak.

Bagi masyarakat, penghapusan BBNKB II membuat biaya pengurusan surat-surat ketika membeli kendaraan bekas menjadi lebih ringan.

Sementara itu, penghapusan tarif progresif PKB juga meringankan total biaya pajak kendaraan tahunan pada rumah tangga yang memiliki lebih dari satu kendaraan.

Kedua relaksasi ini diharapkan mampu mendorong masyarakat untuk memenuhi kewajiban mendaftarkan kepemilikan kendaraan sesuai dengan pemilik sebenarnya.

Bagi pemerintah setempat, hal ini bisa membawa dampak positif bagi Pendapatan Asli Daerah. Data kepemilikan kendaraan yang lebih akurat memungkinkan pengawasan yang lebih efektif atas pemenuhan kewajiban pajak kendaraan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com