Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arip Muttaqien
Akademisi, Peneliti, dan Konsultan

Doktor ekonomi dari UNU-MERIT/Maastricht University (Belanda). Alumni generasi pertama beasiswa LPDP master-doktor. Pernah bekerja di ASEAN Secretariat, Indonesia Mengajar, dan konsultan marketing. Saat ini berkiprah sebagai akademisi, peneliti, dan konsultan. Tertarik dengan berbagai topik ekonomi, pembangunan berkelanjutan, pembangunan internasional, Asia Tenggara, monitoring-evaluasi, serta isu interdisiplin. Bisa dihubungi di https://www.linkedin.com/in/aripmuttaqien/

Dana Abadi untuk Mempercepat Transisi Ekonomi Hijau

Kompas.com - 22/06/2024, 17:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pada 2021, lembaga ini telah meningkatkan investasinya menjadi 40 persen total dana yang dimiliki untuk portofolio yang relevan dengan isu perubahan iklim.

Pada 2014, Rockefeller Brothers Fund mengumumkan keputusannya untuk menarik investasi dari bahan bakar fosil dan mengalihkan dana investasinya ke energi terbarukan serta proyek-proyek ramah lingkungan lainnya.

Langkah ini tidak hanya memberikan dampak positif terhadap lingkungan, tetapi juga menghasilkan keuntungan finansial yang lebih tinggi.

Lembaga lain seperti Ford Foundation dan Wallace Global Fund juga mengumumkan untuk meninggalkan investasi yang terkait dengan bahan bakar fosil.

Contoh kasus lain adalah investasi dari Norway’s Government Pension Fund Global, Abu Dhabi Investment Authority, Temasek Holdings, New Zealand Superannuation Fund, dan Kuwait Investment Authority.

Mereka secara bertahap sudah melakukan investasi untuk proyek yang relevan dengan energi terbarukan atau kegiatan lain yang relevan (sustainable investment activity).

Kasus di Indonesia

Indonesia sebenarnya sudah memiliki institusi yang mengelola dana lingkungan hidup. Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) dibentuk pada September 2019, dikenal juga dengan nama Indonesian Environment Fund (IEF).

IEF adalah Badan Layanan Umum (BLU) yang bertanggungjawab dalam pengelolaan dana lingkungan hidup di bidang kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan karbon, jasa lingkungan, industri, transportasi, pertanian, kelautan dan perikanan, dan bidang lainnya terkait lingkungan hidup.

Dalam pengelolaannya, IEF diawasi oleh 10 kementerian yang terkait dengan bidang lingkungan hidup.

Berdasarkan Laporan Keuangan IEF tahun 2023 yang telah diaudit, total penerimaan IEF mencapai Rp 550 miliar, jauh melampaui target sebesar Rp 323 miliar.

Peningkatan terbesar berasal dari pendapatan hibah, yang mencapai Rp 225 miliar dibandingkan dengan target Rp 38 miliar. Pendapatan lain IEF berasal dari jasa layanan umum (Rp 225 miliar) dan pendapatan lainnya (Rp 100 miliar).

Pendapatan jasa layanan umum berasal dari beberapa sumber, yaitu: (1) layanan pengelolaan Dana Bersama Penanggulangan Bencana sebesar Rp 194 miliar, (2) layanan penyaluran dana bergulir sektor kehutanan sebesar Rp 21 miliar, (3) layanan pengelolaan Dana Rehabilitasi Mangrove sebesar Rp 5,7 miliar, dan (4) pendapatan management fee atas pengelolaan dana kerjasama lingkungan hidup sebesar Rp 4,7 miliar.

Pendapatan hibah paling besar berasal dari Bank Dunia (Rp 146 miliar) yang terdistribusi dalam beberapa program, seperti Forest Carbon Partnership, Mangrove Coastal for Resulience, dan lain-lain.

Pendapatan besar lain berasal dari UNDP (Rp 67 miliar), yang terdistribusi dalam Green Climate Fund dan UNDP TERRA.

Salah satu hal menarik adalah bagaimana wacana DBH SDA bisa menjadi salah satu sumber pendapatan untuk IEF. Jika saja 1 persen DBH SDA bisa menjadi sumber pendanaan untuk IEF, maka tiap tahun akan ada tambahan Rp 1 triliun sebagai bagian dari dana abadi.

Untuk memperkuat mekanisme dana abadi, diperlukan kemauan politik yang sangat kuat. Misalnya, kebijakan disinsentif fiskal bagi aktivitas pertambangan dan penggalian yang bersifat ekstraktif.

Pajak tambahan dapat diterapkan pada perusahaan batu bara yang telah mencapai batas kuota maksimal. Perolehan dana tambahan tersebut dapat diberikan kepada IEF.

Selain itu, implementasi pajak karbon dapat dioptimalkan, di mana sebagian pendapatan dari pajak karbon tersebut bisa dialokasikan untuk IEF.

Prinsipnya adalah bagaimana memaksimalkan pendapatan IEF melalui kebijakan fiskal dan non fiskal terhadap aktivitas bidang pertambangan yang cenderung merugikan iklim.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com