JAKARTA, KOMPAS.com - Pandemi virus corona atau Covid-19 memberikan dampak yang besar terhadap perekonomian global. Ini termasuk pula sektor perpajakan.
Seberapa lama pandemi ini berlangsung dan seberapa dalam dampaknya bagi aktivitas sosial-ekonomi akan menentukan masa depan sektor perpajakan di Indonesia.
Bawono Kristiaji, Partner of Tax Researcher & Training Service DDTC, mengatakan, belajar dari berbagai krisis sebelumnya, kebijakan fiskal yang ekspansif kerap menjadi opsi yang diambil oleh berbagai begara untuk menyelamatkan ekonomi.
Baca juga: Mulai 2021, Pemerintah Buru Wajib Pajak Badan dengan Kriteria Ini
Jurus utamanya adalah belanja yang besar dan relaksasi pemungutan pajak.
Oleh sebab itu, kata Bawono, penerimaan pajak pada umumnya bakal terkena dua pukulan telak sekaligus. Perlambatan ekonomi secara alamiah mengurangi basis pajak.
"Di sisi lain, belanja pajak sebagai wujud pajak yang bersifat regulerend akan banyak digelontorkan," ujar Bawono dalam keterangannya, Senin (18/5/2020).
Bawono menuturkan, langkah yang diambil pemerintah dalam jangka pendek akan berpengaruh pada postur fiskal jangka menengah dan panjang. Relaksasi yang saat ini digelontorkan pemerintah akan berimbas pada pemungutan eksesif di masa depan.
Baca juga: Target Perekonomian 2021, Rasio Pajak Terendah dalam 10 Tahun
Berkaca dari kondisi pasca terjadinya krisis ekonomi 2008, Bawono menyebutkan, setidaknya ada sembilan prediksi terkait masa depan sektor perpajakan.
Pertama, dari defisit menuju konsolidasi fiskal. Untuk menghadapi krisis, pemerintah biasanya merilis kebijakan fiskal yang ekspansif yang biasanya mengakibatkan defisit anggaran.
Kedua, kebijakan pajak berfokus di sektor pajak pertambahan nilai (PPN). Menurut Bawono, kebijakan perpajakan di banyak negara pasca krisis 2009 lebih banyak berkaitan dengan sektor PPN, entah peningkatan tarif, perluasan basis, maupun pembenahan sistem teknologi informasi (TI) untuk menjamin kepatuhan.