Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dilema Ekonomi RI: Mulai Pulih dari Pandemi, Malah "Diadang" Inflasi dan Pelemahan Rupiah

Kompas.com - 08/07/2022, 13:15 WIB
Yohana Artha Uly,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Setelah dua tahun terpuruk akibat pandemi Covid-19, perekonomian Indonesia mulai bangkit kembali seiring melandainya jumlah kasus. Sayangnya, pemulihan ekonomi RI menghadapi serangkaian tekanan global yang berdampak pada kenaikan inflasi dan pelemahan kurs rupiah.

Lonjakan inflasi global terjadi seiring dengan naiknya harga komoditas yang dipicu perang antara Rusia dan Ukraina. Sejumlah negara sudah mengalami kenaikan inflasi yang tinggi, seperti Amerika Serikat yang tercatat sebesar 8,6 persen pada Juni 2022.

Bank Sentral AS atau Federal Reserve pun merespons lonjakan inflasi dengan menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Pada bulan lalu The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin, menjadi kenaikan tertinggi sejak tahun 1994.

Baca juga: Sepekan, Dana Asing yang Keluar dari Pasar Modal Mencapai Rp 4,2 Triliun

Imbas dari kenaikan suku bunga AS yang agresif itu membuat keluarnya dana asing (capital outflow) dari negara-negara emerging market, termasuk Indonesia. Kondisi ini membuat kurs rupiah melemah beberapa waktu belakangan.

Berdasarkan data Bloomberg, Jumat (8/7/2022), pukul 10.15 WIB, kurs rupiah berada di level Rp 14.983 per dollar AS, sedikit membaik dibandingkan pada posisi penutupan perdagangan kemarin yang mencapai level Rp 15.001 per dollar AS.

Baca juga: Rupiah Sempat Tembus 15.000, Pengusaha: Mengkhawatirkan Kami, Kalau Berlanjut Bisa Alami Krisis Arus Kas

Menurut Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, depresiasi rupiah juga dipengaruhi kebijakan Bank Indonesia (BI) yang masih terus menahan suku bunga acuan di level 3,5 persen.

Padahal inflasi Juni 2022 sudah mencapai 4,35 persen secara tahunan, menjadi yang tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Ia menilai, kebijakan BI itu justru membuat arus investasi asing keluar dari Indonesia semakin deras.

Di sisi lain, The Fed juga memberi sinyal yang mengisyaratkan akan menaikkan kembali suku bunga acuan sebesar 50-75 basis poin pada pertemuan 14-15 Juli mendatang.

"Pelemahan nilai tukar rupiah baru permulaan, tekanan berikutnya terjadi saat kenaikan Fed rate," ujar Bhima kepada Kompas.com, Rabu (6/7/2022).

Baca juga: Rupiah Tembus Rp 15.000 per Dollar AS, Apa Dampaknya ke Perekonomian Indonesia?

Imbas pelemahan rupiah dirasakan dunia usaha

Pelemahan kurs rupiah tersebut pada akhirnya berdampak pada imported inflation atau inflasi akibat membengkaknya biaya impor bahan baku dan barang konsumsi. Para pelaku usaha pun mengaku dampaknya sudah terasa dari sisi produksi.

Wakil Ketua Kadin Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, pelemahan kurs rupiah cukup berpengaruh pada industri-industri yang memiliki tingkat impor bahan baku atau bahan penolong yang tinggi untuk kebutuhan produksinya. Lantaran, menjadi lebih mahal biaya pembeliannya.

"Pelemahan yang semakin parah beberapa hari terakhir, meskipun secara komparatif masih lebih landai dibandingkan negara tetangga, tetap sangat mengkhawatirkan kami. Kalau pelemahan berlanjut terus, perusahaan bisa mengalami krisis cashflow (arus kas)," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (7/7/2022).

Baca juga: Pelemahan Rupiah akan Berlanjut Sampai Rp 16.000, Ini Pemicunya

Menurutnya, tak banyak yang bisa dilakukan pelaku usaha untuk mengatasi pelemahan rupiah. Ia bilang, pelaku usaha hanya bisa mengantisipasi dengan meningkatkan cadangan valuta asing (valas) pada arus kasnya atau bila memungkinkan menunda konversi ke mata uang dollar AS untuk pembayaran.

Selain itu, pelaku usaha juga mengupayakan melakukan transaksi dengan mata uang selain dollar AS, khususnya pada negara-negara yang sudah memiliki skema Local Currency Settlement (LCS) dengan Indonesia. Lewat LCS ini pelaku usaha antar kedua negara bisa bertransaksi dengan mata uang lokal masing-masing.

"Kami mengupayakan transaksi dalam mata uang selain dollar AS, khususnya dengan negara-negara di mana Indonesia sudah memiliki skema LCS, meskipun tidak semua supplier/buyers mau bertransaksi dengan LCS," jelas Shinta.

Baca juga: Sri Mulyani: Ketahanan Pangan RI Aman, tapi Waspada Tekanan Inflasi Pangan

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com