Bhima menilai, kondisi inflasi Indonesia yang tinggi dan pelemahan kurs rupiah, perlu segera direspons BI dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin. Hal ini sebagai langkah pre-emptives hadapi tekanan inflasi di semester II-2022.
Namun kondisi tersebut memang bagai makan buah simalakama alias serba salah. Kenaikan suku bunga The Fed yang agresif perlu diimbangi dengan kenaikan suku bunga BI, tetapi kebijakan itu akan membuat kenaikan suku bunga pinjaman.
Sementara tidak semua konsumen dan pelaku usaha siap menghadapi kenaikan bunga pinjaman. Menurut Bhima, salah satu imbasnya yakni proyeksi permintaan konsumen rumah tangga bisa kembali menurun dan pelaku usaha akan terganggu rencana ekspansi bisnisnya.
"Kredit perumahan dan kendaraan bermotor juga sangat sensitif terhadap kenaikan suku bunga," jelas kata dia.
Kondisi tersebut dapat kembali melemahkan perekonomian Indonesia, setelah berupaya bangkit kembali usai berkurangnya tekanan Covid-19.
Merespons gejolak ekonomi saat ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah akan terus mencermati perkembangan sejumlah indikator ekonomi dalam menyusun kebijakan. Dia memastikan, pemerintah akan terus menjaga stabilitas melalui belanja, penerimaan, dan pembiayaan.
“Kalau bicara stabilitas dengan growth, stabilitas tapi sisi inflasi. Kalau inflasinya sisi supply side persoalannya, maka kami bantu dari sisi supply side," kata dia Sri Mulyani di Gedung DPR RI, Selasa (5/7/2022).
"Umpamanya membantu dari sisi kebijakan mengenai perdagangan, investasi, ekspor-impor, distribusi, karena itu persoalan yang terjadi dari inflasi sekarang ini, namun jika terdapat masalah sisi demand maka kami akan mengelolanya bersama sama,” tambah Sri Mulyani.
Sementara itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu menyatakan, pemerintah akan terus menjaga stabilitas ekonomi melalui inflasi yang terkendali agar daya beli masyarakat tetap terjaga.
Menurutnya, bila dibandingkan dengan negara lain yang mengalami hal serupa, kondisi Indonesia dipastikan masih terjaga dengan baik. Hal ini disebabkan koordinasi yang sangat kuat antara fiskal dan moneter.
Febrio pun menilai, kurs rupiah yang melemah bergerak sesuai dengan mekanisme pasar serta kemampuan suatu negara menghasilkan devisa. Ia menilai, kemampuan RI sangat baik dalam menjaga devisa, tercermin dari neraca perdagangan yang mengalami suprlus selama 25 bulan beturut-turut.
“Selain itu, di tahun ini kita memilki current account (neraca transaksi berjalan) surplus, di situ kita mendapatkan cadangan devisa. Cadangan devisa kita tinggi sekali dibandingkan beberapa kekhawatiran yang sering terjadi," jelasnya.
Di sisi lain, komponen penyumbang cadangan devisa juga meningkat, yang disumbang dari masuknya aliran modal asing dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA) dengan tren yang meningkat meski di tengah tantangan pandemi Covid-19. Hal itu disebabkan kondisi makro ekonomi dalam negeri yang relatif terjaga.
“Banyak negara mungkin tidak memiliki kondisi sestabil Indonesia. Jadi kita punya modal, namun tetap harus hati-hati dan terus menjaga stabilitas ini ke depan," tutup Febrio.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.