Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pramono Dwi Susetyo
Pensiunan

Pemerhati masalah kehutanan; penulis buku

Multi Usaha Kehutanan (MUK), Konsepnya Kuat tetapi Implentasi Lemah

Kompas.com - 23/02/2023, 14:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PENGELOLAAN hutan produksi, yang mengandalkan hutan alam dengan mengambil hasil kayunya (timber estate) melalui izin konsesi HPH (Hak Pengusahaan Hutan), membuat potensi kayunya mulai habis. Praktik itu berlangsung setengah abad (dimulai tahun 1070).

Maka, untuk memaksimalkan pengelolaan kawasan hutan produksi, pemerintah mulai menerapkan paradigma baru pengelolaan kawasan hutan produksi, yakni melalui pendekatan multi usaha kehutanan (MUK) sejak tahun 2021. Paradigma baru itu  ditandai dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

Pertimbangannya adalah secara ekonomi riil, sebenarnya nilai lahan hutan masih sangat rendah sehingga memicu konversi hutan atau deforestasi. Akibatnya, cepat atau lambat, lahan hutan akan dikonversi.

Karena itu cara paling logis dan efektif untuk menurunkan laju konversi hutan adalah dengan meningkatkan nilai riil lahan hutan sehingga lebih tinggi dari alternatif penggunaan lahan lainnya.

Untuk menaikkan nilai hutan, Profesor Dodik Ridho Nurrochmat, guru besar kebijakan kehutanan Fakultas Kehutanan IPB University, mengajukan konsep multi usaha hortikultura. Persepsi umum bahwa hutan secara ekonomi tidak kompetitif dibandingkan dengan sektor lain harus dibantah dengan menunjukkan bukti empiris.

Baca juga: Tanggapi Sri Mulyani, Dedi Mulyadi: Cara Pandang Kehutanan Jangan Sempit Sebatas Jual Kayu

Faktanya, di beberapa daerah banyak kreativitas masyarakat kelompok tani hutan (KTH) dalam memilih berbagai komoditas kehutanan terbukti mampu mengungguli pendapatan berlipat lipat dari pendapatan primadona di bidang agro saat ini.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8/2021 mendefinisikan multi usaha kehutanan adalah penerapan beberapa kegiatan usaha kehutanan berupa usaha pemanfaatan kawasan, usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan/atau usaha pemanfaatan jasa lingkungan untuk mengoptimalkan kawasan hutan pada hutan lindung dan hutan produksi. Tujuan multi usaha kehutanan untuk meningkatkan nilai hutan. 

Nilai Hutan

Dari hutan di Indonesia seluas 120,3 juta hektare, Produk Domestik Bruto (PDB) sektor kehutanan hanya 0,6 persen. Kawasan hutan tidak memberikan manfaat signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. Akibatnya hutan dikonversi menjadi lahan yang lebih menguntungkan.

Survei Sosial Ekonomi Nasional menunjukkan rata-rata petani menggarap lahan seluas 0,2-0,4 hektare. Padahal kawasan hutan 120,5 juta hektare atau 60 persen dari luas daratan Indonesia.

Kecilnya usaha sektor kehutanan tecermin dalam sumbangannya kepada penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang hanya 0,6 persen per tahun. Sementara sektor pertanian yang menguasai lahan kurang dari 20 juta hektare sumbangan ke produk domestik bruto 13,3 persen.

Multi usaha kehutanan dirancang untuk memberikan nilai tambah. Menurut Dodik, jika semata kayu, nilai hutan hanya Rp 400 per meter persegi per tahun.

Dalam perhitungan Dodik, multi usaha hortikultura di hutan mencapai Rp 48.000 per meter persegi per tahun. Jika luas hutan produksi kini mencapai 43 juta hektare, potensi multiusaha ke hutanan mencapai Rp 20.640 triliun.

Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bambang Hendroyono menyebut, potensi multi usaha kehutanan akan naik dari Rp 356 triliun hari ini menjadi Rp 1.210 triliun pada 2045. Nilai tersebut bukan berasal dari nilai ekonomi kayu melainkan hasil hutan bukan kayu, jasa lingkungan, dan pangan. Dari agroforestri saja, nilai pangan hutan melalui multi usaha sebesar Rp 10,8 juta ton per hektare.

Baca juga: Sri Mulyani: Biaya Pemangkasan Emisi Karbon di Sektor Kehutanan Lebih Murah Dibandingkan Sektor Energi

Hitung-hitungan Dodik dan Bambang masih dapat diperdebatkan mengingat agroklimat hutan Indonesia berbeda-beda.

Kendala Implementasi

Berikut ini beberapa kendala dan hambatan multi usaha kehutanan. Pertama, kenaikan nilai hutan oleh multi usaha kehutanan masih bersifat penelitian menggunakan model pengelolaan dalam skala terbatas dengan perlakukan khusus. Konsep multi usaha secara massal belum terbukti.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Laba Bersih JTPE Tumbuh 11 Persen pada Kuartal I 2024, Ditopang Pesanan E-KTP

Laba Bersih JTPE Tumbuh 11 Persen pada Kuartal I 2024, Ditopang Pesanan E-KTP

Whats New
Pabrik Sepatu Bata Tutup, Menperin Sebut Upaya Efisiensi Bisnis

Pabrik Sepatu Bata Tutup, Menperin Sebut Upaya Efisiensi Bisnis

Whats New
Jadwal LRT Jabodebek Terbaru Berlaku Mei 2024

Jadwal LRT Jabodebek Terbaru Berlaku Mei 2024

Whats New
Emiten Hotel Rest Area KDTN Bakal Tebar Dividen Rp 1,34 Miliar

Emiten Hotel Rest Area KDTN Bakal Tebar Dividen Rp 1,34 Miliar

Whats New
Keuangan BUMN Farmasi Indofarma Bermasalah, BEI Lakukan Monitoring

Keuangan BUMN Farmasi Indofarma Bermasalah, BEI Lakukan Monitoring

Whats New
Bea Cukai Lelang 30 Royal Enfield, Harga Mulai Rp 39,5 Juta

Bea Cukai Lelang 30 Royal Enfield, Harga Mulai Rp 39,5 Juta

Whats New
Bisnis Alas Kaki Melemah di Awal 2024, Asosiasi Ungkap Penyebabnya

Bisnis Alas Kaki Melemah di Awal 2024, Asosiasi Ungkap Penyebabnya

Whats New
Penuhi Kebutuhan Listrik EBT Masa Depan, PLN Bidik Energi Nuklir hingga Amonia

Penuhi Kebutuhan Listrik EBT Masa Depan, PLN Bidik Energi Nuklir hingga Amonia

Whats New
LPPI Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1-S2, Simak Persyaratannya

LPPI Buka Lowongan Kerja untuk Lulusan S1-S2, Simak Persyaratannya

Work Smart
Jadi 'Menkeu' Keluarga, Perempuan Harus Pintar Atur Keuangan

Jadi "Menkeu" Keluarga, Perempuan Harus Pintar Atur Keuangan

Spend Smart
Emiten Perdagangan Aspal SOLA Bakal IPO dengan Harga Perdana Rp 110 Per Saham

Emiten Perdagangan Aspal SOLA Bakal IPO dengan Harga Perdana Rp 110 Per Saham

Whats New
Data Terbaru, Utang Pemerintah Turun Jadi Rp 8.262,10 Triliun

Data Terbaru, Utang Pemerintah Turun Jadi Rp 8.262,10 Triliun

Whats New
Bank Mandiri Genjot Transaksi 'Cross Border' Lewat Aplikasi Livin’

Bank Mandiri Genjot Transaksi "Cross Border" Lewat Aplikasi Livin’

Whats New
Kuartal I Ditopang Pemilu dan Ramadhan, Bagaimana Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ke Depan?

Kuartal I Ditopang Pemilu dan Ramadhan, Bagaimana Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ke Depan?

Whats New
Berikut Daftar Tiga Pabrik di Indonesia yang Tutup hingga April 2024

Berikut Daftar Tiga Pabrik di Indonesia yang Tutup hingga April 2024

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com