Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hermudananto
Dosen

Dosen kehutanan UGM yang saat ini sedang tugas belajar di University of Florida

Menunggu (Kepastian) Pemberlakuan Pajak Karbon di Indonesia

Kompas.com - 13/05/2023, 09:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SETELAH pemerintah Indonesia menunda penerapan perdana pajak karbon di Indonesia pada April menjadi Juni 2023, apakah rencana pemberlakuan tahun 2025 akan terealisasi? Apa saja yang perlu dipersiapkan?

Pajak karbon merupakan salah satu instrumen pasar karbon yang digunakan oleh suatu negara dalam merespons krisis iklim di dunia.

Jenis pajak lingkungan ini umumnya dikenakan pada komoditas bahan bakar fosil (seperti bensin, batubara, gas alam) kepada produsen atau konsumen yang menggunakannya karena terdapat emisi karbon yang dihasilkan yang berkontribusi pada perubahan iklim.

Perjanjian Paris yang merupakan kesepakatan dalam Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) juga mendorong penerapan mekanisme pajak karbon secara global, termasuk forum internasional lainnya seperti Sistem Perdagangan Emisi Uni Eropa (EU ETS), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD).

Lantas siapa yang diuntungkan dalam penerapan pajak karbon ini? Bagi pemerintah, pajak karbon dapat membantu pencapaian target pengurangan emisi yang dikomitmenkan dalam dokumen Nationally Determined Contributions (NDCs).

Pendapatan dari pajak juga dapat menambah pendanaan untuk program perubahan iklim, seperti di Indonesia yang hanya memiliki dana 30-40 persen untuk kebutuhan pencapaian target NDC tahun 2030.

Bagi pelaku ekonomi, intrumen pajak karbon mendorong perilaku bisnis yang lebih ramah lingkungan dengan inovasi teknologi dan investasi yang efisien.

Pasar karbon juga akan berkembang. Apalagi prediksi nilai perdagangan karbon global terus meningkat hingga ~2,400 pada tahun 2027 (Coherent Market Insights, 2021).

Sebaliknya, dampak negatif penerapan pajak karbon juga perlu diwaspadai. Ekonomi industri yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil dapat mengalami penurunan daya saing akibat kenaikan beban produksi.

Bagi konsumen yang berpendapatan rendah, dampak regresif menghantui karena pendapatan yang mereka akan belanjakan untuk energi atau produk yang dikenakan pajak, seperti Perancis yang mencabut kebijakan penerapan pajak karbon tahun 2019.

Sehingga diperlukan kebijakan yang tepat sasaran untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan dari penerapan pajak karbon nantinya.

Tarik ulur penerapan pajak karbon di setiap negara bukan tanpa sebab. Meskipun sebagai salah satu polutter terbesar di dunia, Amerika Serikat sebagai contoh, konsep pajak karbon dianggap cukup berisiko secara politis sehingga sulit untuk disahkan dalam kongres mereka.

Terlebih lagi bagi negara dengan industri bahan bakar fosil yang dominan atau konstituen anti-pajak yang cukup vokal.

Pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi COVID-19 dan dampak perang Rusia-Ukraina turut menjadi pertimbangan.

Negara dengan sistem perpajakan dan administrasi yang rumit dan belum baik juga memerlukan investasi dan waktu dalam pengembangan infrastruktur sistemnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com