Lain halnya dengan Finlandia yang menerapkan pajak karbon pertama kali di dunia sejak tahun 1990 karena mendapat dukungan politik yang luas, dipercaya efektif untuk mengurangi emisi, serta turut mempromosikan pembangunan berkelanjutan.
Hingga 1 April 2022, baru sekitar 35 negara di dunia yang mengimplementasikan pajak karbon.
Di Indonesia, ajang pemilihan umum yang akan berlangsung tahun depan, mungkin juga menjadi pertimbangan penerapan pajak karbon ditunda hingga 2025.
Saat ini perdagangan karbon di Indonesia belum dikenakan pajak untuk komoditas/aktifitas yang yang menghasilkan emisi karbon, namun landasan hukum pajak karbon sudah dipersiapkan.
Undang-undang No.7/2021 mengenai harmonisasi peraturan perpajakan dan Peraturan Presiden No. 98/2021 mengenai penyelenggaraan nilai ekonomi karbon, setidaknya mendasari pemberlakuan pajak karbon di Indonesia sambil menunggu aturan detail turunannya.
Ruang lingkup dan tarif pajak karbon telah ditetapkan dalam peraturan saat ini. Dari semua jenis emisi gas rumah kaca, hanya karbondioksida (CO2) yang dikenakan pajak karbon sebagai sumber emisi gas terbesar (~80 persen) penyumbang pemanasan global.
Gas emisi lainnya seperti metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), dan gas berfluorinasi (F-gas) belum dikenakan tarif pajak karbon saat ini.
Tarifnya, yaitu paling rendah Rp 30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau lebih tinggi/sama dengan harga karbon di pasar karbon.
Angka ini sebenarnya sangat jauh dari kisaran tarif yang direkomendasikan Bank Dunia untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celcius, yaitu kisaran 50-100 dollar AS per ton CO2 (State and Trends of Carbon Pricing, 2022).
Lain halnya, Uruguay menerapkan tarif pajak karbon tertinggi di dunia, yaitu sebesar 137.30 dollar AS per ton CO2 per 1 April 2022.
Selanjutnya, apalagi yang perlu dipersiapkan sambil menunggu penerapan pajak karbon di Indonesia? Tiga hal ini perlu dipertimbangkan dalam pengembangan infrastruktur sistem pajak karbon.
Pertama, sistem pengumpulan dan pendistribusian hasil pajak karbon. Pengumpulan pajak mungkin tidak akan jauh berbeda dengan pungutan pajak-pajak lainnya yang bisa dikenakan langsung pada suatu barang atau kegiatan yang menghasilkan emisi atau dapat bersifat kumulatif selama periode tertentu.
Namun pendistribusian hasil pajak kabron yang perlu mendapat perhatian lebih.
Finlandia mendistribusikan pendapatan dari pajak karbonnya untuk menambah anggaran pemerintah serta dengan pemotongan independen dalam pajak penghasilan.
Belanda juga menggunakannya untuk mengurangi pajak-pajak lainnya, serta penggunaan untuk program perubahan iklim.