Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menteri Bahlil Minta IMF Jangan Ikut Campur Kebijakan Hilirisasi RI

Kompas.com - 01/07/2023, 09:52 WIB
Muhammad Idris

Penulis

Sumber Antara

KOMPAS.com - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia meminta Dana Moneter Internasional (IMF) tidak ikut campur soal kebijakan pemerintah Indonesia terkait dengan larangan ekspor komoditas dan hiliriasi.

Bahlil mengatakan, Pemerintah Indonesia mengapresiasi IMF dalam memberikan pandangan dan rekomendasi perihal pertumbuhan makro ekonomi di dalam negeri.

Akan tetapi, apa yang dilakukan oleh IMF dianggap sebagai standar ganda, di mana satu sisi mendukung tujuan hilirisasi sekaligus menentang kebijakan larangan ekspor.

"Ini standar ganda menurut saya, menurut saya apa yang dilakukan pemerintah sudah dalam jalan yang benar dan kita menghargai mereka," kata Bahlil dikutip dari Antara, Sabtu (1/7/2023).

Baca juga: Freeport Diminta Bangun Smelter di Papua, Bahlil: Jangan Kita Ditipu-tipu Terus

"Pandangan mereka tapi kita tidak boleh terpengaruh pandangan mereka ketika tidak obyektif dalam arah tujuan negara. Yang tahu tujuan negara adalah negara kita sendiri, pemerintah Republik Indonesia dan rakyat, bukan yang lain," ujar Bahlil lagi.

Bahlil menjelaskan, penilaian IMF terkait soal kerugian yang akan dialami oleh pemerintah Indonesia apabila menerapkan kebijakan larangan ekspor tidaklah tepat.

Menurut Bahlil, dengan hilirisasi penciptaan nilai tambah sangatlah tinggi bagi Indonesia. Selain itu, banyak efek berantai dari kebijakan tersebut, contohnya pembukaan lapangan kerja.

Ia mencontohkan, ekspor nikel pada 2017-2018 hanya mencapai 3,3 juta dollar AS. Namun, begitu menghentikan ekspor nikel dan melakukan hilirisasi, nilai ekspor Indonesia pada 2022 menyentuh hampir 30 miliar dollar AS.

Baca juga: Diatur-atur soal Larangan Ekspor Nikel, Luhut Bakal Temui Bos IMF

Lebih lanjut, hilirisasi telah membuat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus selama 25 bulan berturut-turut.

Selain itu, sejak diberlakukannya kebijakan hilirisasi, pertumbuhan tenaga kerja pada sektor hilirisasi tiap tahun mencapai angka 26,9 persen dalam empat tahun terakhir.

"Jadi kalau ada siapapun yang mencoba mengatakan bahwa hilirisasi adalah sebuah tindakan yang merugikan negara, itu kita pertanyakan ada pemikiran apa di balik itu," kata Bahlil.

Bahlil menegaskan kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor komoditas tetap dilakukan oleh Indonesia. Menurutnya, hilirisasi tak hanya sekadar soal penambahan nilai semata, tetapi juga terkait dengan kedaulatan Republik Indonesia.

Baca juga: Ternyata Indonesia Punya Saham di IMF, Berapa Persen?

"Hilirisasi menyangkut kedaulatan, tidak boleh negara kita diatur oleh negara lain, tidak boleh juga institusi lain menilai kita yang sudah bagus dan tidak boleh ada standar ganda dalam konteks kebijakan sebuah negara," kata Bahlil.

Pandangan IMF terkait kebijakan larangan ekspor tertuang dalam laporan bertajuk "IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia" yang dipublikasikan pada Senin (26/6/2023).

Tiga poin yang menjadi sorotan Kementerian Investasi/BKPM adalah IMF mengakui pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 5 persen.

Kemudian mengakui bahwa FDI Indonesia akan terus mengalami peningkatan dan tumbuh sekitar 19 persen serta mendukung tujuan hilirisasi Indonesia untuk mendorong transformasi struktural dan penciptaan nilai tambah, tetapi juga menentang kebijakan larangan ekspor.

Baca juga: Indonesia Tidak Mau Diatur IMF, Hilirisasi Harga Mati

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com