Oleh: Rangga Septio Wardana dan Brigitta Valencia Bellion
KOMPAS.com - Gen Z kerap mendapatkan stereotip negatif saat baru mulai berkarier di dunia kerja. Sebagai pendatang baru, generasi yang lahir pada rentang tahun 1997 hingga 2012 dianggap kurang mampu bekerja sama di dunia kerja.
Selain itu, generasi ini pun dipandang memiliki loyalitas, kemampuan, hingga soft skill yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Terlepas dari itu, peran Gen Z di dunia kerja sebenarnya memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam perkembangan perusahaan.
Maka dari itu, generasi termuda ini perlu memerlukan sejumlah strategi agar bisa bersaing dalam meraih kesuksesan dalam berkarier. Fenomena ini pun dibahas dalam siniar Obsesif bertajuk “Kompetitif Tanpa Harus Jadi Nyebelin” yang dapat diakses melalui tautan s.id/ObsesifKompetitif.
Anggapan-anggapan negatif tentang Gen Z bukan tanpa alasan. Melansir situs UII, dalam data yang dipublikasikan oleh GWI disebutkan bahwa 72 persen Gen Z sangat membatasi diri dalam urusan kehidupan maupun kehidupan mereka.
Gen Z memiliki kecenderungan untuk menolak hustle culture hingga menganut the soft life, sehingga lebih sering dianggap malas dan kurang mampu bekerja sama secara tim dalam dunia kerja.
Baca juga: Menjadi Pemimpin Autentik untuk Ciptakan Koneksi
Anggapan negatif lainnya adalah generasi ini rentan terhadap kecemasan, sekitar 29 persen Gen Z mengaku bahwa dirinya memang rentang dengan kecemasan. Hal tersebut pun menuai anggapan bahwa mereka adalah pribadi yang baperan.
Menurut Johns Hopkins University, Gen Z mengalami tingkat stres dan kelelahan yang lebih tinggi di tempat kerja dibanding generasi sebelumnya. Sekitar 68% Gen Z melaporkan bahwa mereka merasa stres hampir sepanjang waktu di tempat kerja.
Kelelahan dan stres diakibatkan beban kerja yang terlalu banyak sehingga berdampak pada perkembangan karier dan kinerja dalam jangka panjang. Hal ini yang menjadi alasan Gen Z untuk berpindah-pindah tempat kerja.
Menurut World Economic Forum, 73 persen Gen Z menginginkan alternatif pekerjaan permanen yang fleksibel. Hal ini didukung data Fortune yang menyatakan 59,5 persen Gen Z setuju pekerjaan jarak jauh dan hybrid akan meningkatkan produktivitas mereka.
Fleksibilitas juga dianggap dapat mengurangi gangguan di tempat kerja yang dapat memicu stress. Deloitte menyatakan bahwa beban kerja yang berlebih membuat hidup mereka menjadi tak seimbang dan memicu stres.
Baca juga: Quarter Life Crisis itu Nyata, Jangan Diremehkan
Pekerjaan jarak jauh atau hybrid akan secara drastis mengurangi faktor-faktor penghambat tersebut, sehingga memungkinkan mereka untuk bisa bekerja lebih produktif.
Gen Z menginginkan peningkatan akses terhadap layanan kesehatan mental, peningkatan pengetahuan tentang kesejahteraan mental, kepemimpinan empatik, dan budaya kesehatan.
Oleh karena itu, perusahaan harus membangun budaya kerja bebas stigma dan mengintegrasikan kesehatan mental ke seluruh bisnis melalui kebijakan dan program yang peduli terhadap kesehatan mental setiap karyawan.
Gen Z memiliki kecenderungan untuk terus mencari peluang untuk tumbuh dan berkembang secara profesional. Hal ini disebabkan karena mereka membutuhkan keamanan finansial, mentalitas untuk berkembang, dan semangat kompetitif.