Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi Hijau Disebut Bisa Atasi "Gap" Biaya Hidup dan Pendapatan Pekerja

Kompas.com - 19/12/2023, 17:46 WIB
Rully R. Ramli,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Transisi menuju ekonomi hijau dinilai dapat memberikan sejumlah manfaat terhadap perekonomian nasional. Salah satunya ialah meningkatnya pendapatan pekerja Tanah Air.

Hal itu disebutkan dalam temuan Center of Economic and Law Studies (Celios) dengan Greenpeace Indonesia. Direktur Celios Bhima Yudhistira mengatakan, lewat ekonomi hijau terdapat potensi penambahan pendapatan pekerja nasional total sebesar Rp 902,2 triliun dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.

Potensi itu didapatkan dari terciptanya struktur ekonomi nasional yang berkelanjutan, dan tidak lagi bergantung terhadap komoditas ekstraktif.

Baca juga: BSI Sudah Salurkan Rp 52 Triliun Buat Pembiayaan Ekonomi Hijau

Ilustrasi ekonomi hijau. SHUTTERSTOCK/U-STUDIOGRAPHY DD59 Ilustrasi ekonomi hijau.

Apabila Indonesia tidak melakukan transisi menuju ekonomi hijau, maka potensi pendapatan kerja secara nasional pada periode yang sama hanya mencapai Rp 582,3 triliun.

"Pendapatan masyarakat kalau business as usual cuma dapat Rp 582,3 triliun, tapi kalau bergerak ke sektor yang lebih hijau Rp 902,2 triliun," ujar Bhima dalam acara diskusi yang digelar oleh Greenpeace Indonesia, di Jakarta, Selasa (19/12/2023).

Melihat angka potensi tersebut, Bhima menekankan, pemerintah dan para pelaku usaha perlu melakukan kegiatan ekonomi yang berlandaskan ekonomi hijau. Dengan demikian, pekerja dapat menerima penghasilan yang lebih tinggi, dan menerima kehidupan yang lebih layak.

"Ini juga bisa menjawab untuk hidup layak di Jakarta, itu hampir Rp 15 juta per bulan, upah minimumnya Rp 5 juta, jawabannya apa? Buka lebih banyak sektor kerja lapangan hijau," tutur Bhima.

Baca juga: Pertamina NRE-Pemprov Kaltim Siap Garap Proyek Ekonomi Hijau

Menurut Bhima, ketergantungan ekonomi terhadap sektor komoditas ekstraktif menjadi salah satu alasan ketenagakerjaan di Indonesia bersifat volatil. Pasalnya, kinerja bisnis perusahaan yang mengandalkan komoditas ekstraktif akan mengikuti pergerakan harga di pasar global.

"Sektor yang volatil kita enggak bisa kendalikan, harga batu bara, kita tidak bisa kendalikan harga minyak, jadi faktor-faktor eksternal yang membuat ekonomi kita naik turun," katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com