Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
RPP KESEHATAN

Mengurai Dampak pada Sektor Tembakau dan Kreatif Bila RPP Kesehatan Diketuk Palu

Kompas.com - 28/12/2023, 08:49 WIB
Hotria Mariana,
Sri Noviyanti

Tim Redaksi

KOMPAS.com – Pemerintah Indonesia dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sebagai leading sector tengah menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Salah satu substansi yang diatur di dalamnya adalah pengamanan zat adiktif, termasuk produk tembakau dan rokok elektronik.

Di balik tujuannya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, RPP Kesehatan menuai polemik. Sebab, rancangannya dinilai mendiskriminasi, terutama bagi industri hasil tembakau (IHT) dan komoditasnya.

Padahal, bila diurai lebih lanjut, IHT merupakan industri padat karya yang memiliki sejumlah kemaslahatan.

Baca juga: Soal Pasal Tembakau di RPP Kesehatan, DPR Minta Sisi Positif IHT Juga Dipertimbangkan

Dari segi penyerapan tenaga kerja, misalnya. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian (Kemenperin), IHT mampu menyerap 5,98 juta pekerja pada 2018. Angka ini terdiri dari pekerja di sektor manufaktur dan distribusi yang berjumlah 4,28 juta orang dan 1,7 juta orang di sektor perkebunan.

Industri tersebut juga punya peran besar terhadap penerimaan negara. Lewat ekspor, industri pengolahan tembakau mampu menyumbang ratusan juta dollar AS.

Tidak hanya itu, IHT juga tercatat berkontribusi Rp 218 triliun pada 2022 dan Rp 188,8 triliun pada 2021 melalui cukai hasil tembakau (CHT). Jumlah ini di luar pajak penghasilan (PPh) badan ataupun tenaga kerja industri tersebut.

Hasil penelitian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang dipaparkan di Jakarta (20/12/2023) menyebut bahwa RPP kesehatan berpotensi mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 103 triliun jika disahkan.

Baca juga: Peneliti Indef Sebut Pengetatan Rokok di RPP Kesehatan Bisa Gerus PDB Indonesia hingga Rp 103 Triliun

Lebih lanjut, Indef juga menemukan bahwa aturan tersebut akan berdampak terhadap penurunan penyerapan tenaga kerja sebesar 10 persen.

Peneliti Indef, Ahmad Heri Firdaus mengatakan, pemberlakuan RPP Kesehatan berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak hanya berdampak terhadap IHT, tetapi juga sektor ekonomi terkait, mulai dari petani cengkih, petani tembakau, tenaga kerja industri, ritel, hingga jasa periklanan.

"Itu akan merembet ke sektor-sektor yang lain dari hulu sampai hilir sehingga secara agregat nilai produk domestic bruto (PDB) ini bisa tergerus hingga mencapai Rp 103 triliun jadi ini multiplier effect-nya mungkin cukup besar," kata Heri.

Mendiskriminasi industri iklan

Seperti diketahui, eksistensi IHT turut memberi “makan” sejumlah sektor lain. Sebut saja, industri periklanan, ekonomi kreatif, dan penyiaran, melalui belanja iklan ataupun promosi. Jadi, jika RPP Kesehatan diketuk palu, sektor tersebut bakal terdampak.

Baca juga: Ada Pasal Tembakau di RPP Kesehatan, Ini Dampaknya Menurut Asosiasi Pabrik Rokok

Untuk diketahui, RPP Kesehatan turut mengatur pembatasan iklan, promosi, dan sponsorship rokok. Namun, batasannya lebih ketat jika dibandingkan dengan aturan sama yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.

RPP Kesehatan melarang iklan rokok di media luar ruang, situs, dan/atau aplikasi elektronik komersial, media sosial, dan tempat penjualan produk tembakau dan rokok elektronik.

Sementara itu, PP Nomor 109 Tahun 2012 sudah memberi ketentuan yang membatasi cukup ketat, namun bukan larangan.

RPP Kesehatan juga memperketat waktu penayangan iklan rokok di media penyiaran. Iklan rokok di media penyiaran hanya dapat ditayangkan setelah pukul 23.00 sampai dengan pukul 03.00 waktu setempat. Sebelumnya, PP Nomor 109 Tahun 2012 membolehkan iklan rokok di media penyiaran ditayangkan setelah pukul 21.30 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat.

Baca juga: Soal Wacana Larangan Iklan Rokok, Ini Respons Dewan Periklanan Indonesia

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com