KOLOM BIZ
Konten ini merupakan kerja sama Kompas.com dengan PT Sarana Multigriya Finansial (Persero)
Harya Narendra
Senior VP Securitization, KPBU, and Special Program PT SMF (Persero)

Senior Vice President Securitization, KPBU, and Special Program yang berpengalaman bekerja di beberapa divisi SMF, mulai dari Credit analyst Section Head (2017-2019), Risk Management and Compliance Head (2017-2019), hingga Business Development Head (2019-2021). Alumnus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN).

14 Tahun Sekuritisasi di Indonesia: Potensi dan Tantangan

Kompas.com - 29/12/2023, 20:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ISTILAH sekuritisasi bukan termasuk istilah yang populer di kalangan bisnis, apalagi di masyarakat awam. Banyak yang belum memahami konsep dari sekuritisasi dan penerapannya dalam bisnis.

Secara singkat, sekuritisasi dapat dijelaskan sebagai mekanisme mengubah aset keuangan menjadi surat berharga yang dapat diperdagangkan di pasar modal. Melalui sekuritisasi, aset keuangan yang hanya dapat diperdagangkan antara pelaku usaha, dapat menjadi dasar instrumen investasi bagi masyarakat umum. Bayangkan saja, tanpa transaksi sekuritisasi, seorang investor tentu tidak dapat berinvestasi pada portofolio kredit pemilikan rumah (KPR).

Di Indonesia, transaksi sekuritisasi pertama kali dilakukan pada 2009 menggunakan aset dasar berupa portofolio KPR Bank BTN. Setelah itu, transaksi sekuritisasi mulai dilakukan secara rutin setiap tahun, meskipun dengan frekuensi yang sangat sedikit.

Kemudian, transaksi sekuritisasi menggunakan aset dasar berupa arus kas yang diterima dari suatu kegiatan usaha, seperti penerimaan dari penjualan tiket pesawat, kontrak, dan pendapatan jalan tol, diluncurkan pada 2018. Transaksi di luar KPR tersebut baru dilakukan sekali untuk tiap jenis aset dan terhenti karena pandemi Covid-19 menerpa Tanah Air pada 2020.

Sementara itu, transaksi sekuritisasi dengan aset dasar portofolio KPR terus berjalan. Transaksi teranyar adalah penerbitan EBA Syariah pertama dengan aset dasar portofolio PPR Bank BSI.

Satu hal yang membedakan transaksi sekuritisasi dengan aset dasar KPR dan kelas aset lain adalah arus kas yang diperoleh dari tagihan yang memang sudah ada perjanjian antara bank dengan nasabahnya. Ketika portofolio KPR disekuritisasi, maka risk and reward atas aset tersebut akan beralih dari bank kepada investor EBA.

Sementara itu, transaksi sekuritisasi yang lain umumnya memiliki dasar arus kas yang akan diterima dari aktivitas bisnis tertentu yang dimiliki oleh perusahaan. Saat ini, transaksi sekuritisasi KPR dengan aset dasar KPR dilakukan oleh PT Sarana Multigriya Finansial (SMF).

Sebagai informasi, SMF merupakan salah satu special mission vehicle yang didirikan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan.

Minimnya frekuensi transaksi sekuritisasi KPR dari tahun ke tahun masih menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh seluruh pihak, khususnya pemangku kepentingan di bidang perumahan. Wacana transaksi sekuritisasi KPR di Indonesia timbul ketika terdapat concern terkait risiko bank ketika menyalurkan KPR dengan tenor panjang menggunakan dana pihak ketiga yang memiliki tenor pendek.

Ketika krisis ekonomi terjadi pada 1998, perbankan mengalami kesulitan likuiditas lantaran nasabah menarik sebagian besar dana yang tercatat sebagai Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan.

Posisi likuiditas yang terbatas memaksa bank menaikkan tingkat suku bunga DPK untuk menarik nasabah agar kembali menempatkan dananya di bank. Imbasnya, bank juga menaikan suku bunga kredit yang ada di asetnya, termasuk KPR. Kenaikan suku bunga menyebabkan angsuran yang harus ditanggung oleh debitur juga naik secara signifikan. Alhasil, non-performing loan (NPL) bank meningkat.

Belajar dari kondisi tersebut, konsep sekuritisasi, khususnya untuk mendukung pendanaan KPR yang memiliki tenor panjang, mulai dikembangkan. Dengan melakukan sekuritisasi, secara otomatis DPK bank tidak terkunci dalam portofolio aset dan dapat dialihkan untuk melakukan penyaluran kredit dengan tenor lebih pendek.

Bagi bank, transaksi sekuritisasi tidak hanya melepaskan bank dari masalah likuiditas, tetapi juga memperoleh sumber pendapatan lain yang berasal dari fee sebagai penyedia jasa bagi EBA. Ketersediaan aset yang dialihkan kepada investor juga mengurangi kewajiban bank untuk menyediakan penyisihan dalam menghadapi kemungkinan aset yang tidak memiliki kinerja baik. Hal ini pun akan berpengaruh dalam perhitungan rasio kecukupan modal (CAR) yang harus dipenuhi oleh bank.

Melihat konsep sekuritisasi mengedepankan fee-based sebagai salah satu lini usaha, tidak menutup kemungkinan bahwa transaksi sekuritisasi bisa dilakukan oleh perusahaan multifinance. Keterbatasan kegiatan perusahaan multifinance dalam mengumpulkan dana untuk kegiatan usahanya bisa teratasi dengan melakukan perubahan paradigma dari menumpuk aset, menjadi menjual aset untuk memperoleh fee sebagai penyedia jasa.

Hal itu mungkin perlu dipertimbangkan oleh perusahaan multifinance untuk mendukung arah pengembangan usahanya menjadi lebih ke bisnis fee-based. Potensi penyaluran KPR yang masih cukup tinggi saat ini, dengan data backlog kepemilikan rumah mencapai lebih dari 12 juta rumah tangga, tentunya bisa menjadi lahan bisnis yang digarap oleh perusahaan multifinance.

Untuk perbankan syariah, transaksi sekuritisasi dapat memberikan sumber pendanaan yang lebih stabil untuk KPR syariah. Hanya saja, batasan bahwa transaksi sekuritisasi KPR Syariah hanya dapat diterapkan untuk KPR dengan akad MMQ atau IMBT, menjadi sebuah tantangan tersendiri.

KPR syariah di Indonesia saat ini didominasi oleh KPR yang menggunakan akad murabahah. Metode ini memberikan kepastian nilai angsuran yang dibayarkan oleh nasabah sampai dengan jatuh tempo. Dari sisi syariat, KPR Syariah dengan akad murabahah tidak dapat dijual ataupun disekuritisasi. Ini mengingat karakteristik pencatatannya sebagai piutang yang disamakan dengan uang.

Dengan kondisi tersebut, transaksi sekuritisasi KPR syariah menghadapi kendala keterbatasan jumlah portofolio yang memenuhi syarat untuk sekuritisasi. Belum lagi, pelaksanaan transaksinya sama dengan transaksi sekuritisasi konvensional, ditetapkan kriteria seleksi untuk memilih KPR Syariah yang sesuai untuk disekuritisasi.

Bagi perbankan Indonesia, transaksi sekuritisasi belum menjadi kebutuhan dengan mempertimbangkan posisi likuiditas dan CAR yang tinggi saat ini. Penyaluran kredit yang masih tertatih-tatih pascapandemi Covid-19 memaksa perbankan untuk fokus dalam mengembalikan pertumbuhan kredit kembali ke level normal. Belum adanya insentif yang dapat mendorong perbankan melakukan sekuritisasi juga menjadikan transaksi sekuritisasi bukan sebagai pilihan utama dalam mencari sumber pendanaan.

Pemahaman mengenai sekuritisasi sebagai alat mencapai keseimbangan antara penyaluran kredit dan pendanaan tidak hanya ada di sisi pelaku bisnis. Regulator juga perlu memiliki pemahaman mengenai pentingnya sekuritisasi dari sisi perbankan, baik di pasar modal maupun industri keuangan nonbank.

Bank sebagai pemilik portofolio kredit yang dapat disekuritisasi membutuhkan peran investor untuk mewujudkan pelaksanaan transaksi sekuritisasi. Ketika semua pihak memiliki pandangan positif yang sama mengenai transaksi sekuritisasi, maka transaksi sekuritisasi akan terlaksana secara otomatis mengikuti kebutuhan pasar.

Potensi pemanfaatan transaksi sekuritisasi ke depan juga semakin tinggi seiring banyaknya proyek-proyek infrastruktur yang sedang dikembangkan oleh pemerintah. Dengan pendanaan dari APBN yang sangat terbatas, sekuritisasi dapat dimanfaatkan untuk memperoleh dana dari pasar modal dengan memanfaatkan arus kas pembayaran dari proyek infrastruktur yang sedang dibangun.

Pengembangan pasar sekuritisasi di Indonesia, khususnya KPR, masih menghadapi tantangan. Kerja sama dan kesamaan pandangan dari seluruh pihak yang berkepentingan tentunya sangat diperlukan.

Transaksi sekuritisasi bukanlah merupakan satu-satunya cara memperoleh pendanaan. Akan tetapi, dalam situasi tertentu, metode ini bisa menjadi solusi yang terbaik untuk perbankan. Frekuensi transaksi sekuritisasi yang meningkat akan membentuk pasar sekunder untuk EBA dan mendorong jumlah investor yang bertransaksi.

Transaksi sekuritisasi KPR secara khusus akan membantu bank mengatasi maturity mismatch dalam penyaluran KPR. Apabila dilakukan secara berulang, praktik ini akan menyediakan semakin banyak KPR bagi masyarakat yang akan membeli rumah.


komentar di artikel lainnya
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com