Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengembangan Panas Bumi Jadi "Pekerjaan Rumah" buat RI, DEN Sebut Strategi Monetisasinya

Kompas.com - 15/01/2024, 18:34 WIB
Aprillia Ika

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Cadangan panas bumi Indonesia besar namun pemanfaatannya masih sedikit, padahal Indonesia juga punya target bauran energi baru terbarukan (EBT) yang besar dari panas bumi. Hal ini jadi "pekerjaan rumah" yang menanti pemerintah Republik Indonesia (RI) beserta stakeholder terkait.

Saat ini, realisasi penggunaan panas bumi baru 3.000 Megawatt (MW) dari total potensi mencapai 24.000 MW. Padahal berdasarkan proyeksi bauran energi dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) penggunaan panas bumi adalah sebesar 5 persen.

Hal ini disampaikan oleh anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha dalam webinar “Strategi Penciptaan Nilai Panas Bumi sebagai Langkah Mendukung Net Zero Emission 2060” yang digelar Reforminer Institute, Senin (15/1/2024).

Menurut dia, pengembangan panas bumi jadi pekerjaan rumah yang harus segera diakselerasi mengingat kebutuhan energi yang terus tumbuh dan besar di masa yang akan datang.

"Bisa dibayangkan panas bumi yang banyak belum dikembangkan itu berkontribusi 5 persen di tahun 2060 dalam bauran energi secara keseluruhan maka kita ingin jika tidak mampu akselerasi panas bumi secarapenuh itu akan jadi pekerjaan rumah 2060 agar panas bumi bisa terpenuhi," kata Satya, Senin (15/1/2024).

Baca juga: Ini Alasan Pamapersada Ramaikan Bisnis Panas Bumi, Memasuki Senja Kala Batu Bara

Strategi monetisasi

Ia menambahkan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk monetisasi potensi panas bumi di RI.

Pertama, harga panas bumi harus disesuaikan dengan keekonomian proyek.

Artinya, tarif yang diluncurkan harus sesuai dengan keekonomian proyek (feed in tariff berdasarkan lokasi jaringan), terjangkau dari segi harga rata-rata bauran energi, serta tidak membandingkan harga satu jenis energi dengan jenis energi lain yang tidak "apple to apple".

Kedua, harus ada keselarasan perizinan dan peraturan di tingkat yang lebih tinggi (Peraturan Presiden Percepatan Pembangunan Panas Bumi terkait izin AMDAL, izin kehutanan (IPPKH/IPJLPB), dan perizinan sumber daya alam.

Ketiga, sebaiknya terdapat penggantian biaya infrastruktur sebagai kompensasi atas kewajiban perpajakan khususnya yang bersifat sosial, risiko eksplorasi ditanggung pemerintah (risk mitigation), internalisasi biaya lingkungan (carbon tax).

Serta, sebaiknya perpajakan yang dikenakan adalah hanya menanggung pajak badan (20 persen) dan menerapkan tax holiday serta insentif pajak lainnya.

Baca juga: Energi Hijau Makin Dilirik, Pertamina Geothermal Bisa Makin Cuan Lewat Bursa Karbon  

Keempat, perlu adanya jaminan keuntungan ekonomi yang wajar terkait dengan alokasi risiko, yaitu pembagian risiko antara PLN sebagai off taker (menjadi tarif kompetitif) dan pengembang yang mempunyai risiko (menjadi tarif menarik). 

Serta, memastikan perlindungan tingkat investasi IRR (Internal Rate of Return) sesuai dengan usulan berdasarkan perhitungan feed in tariff.

Kelima, agar pengeboran panas bumi lebih efisien, diusulkan untuk membentuk konsorsium atau koperasi rig khusus panas bumi.

"Serta untuk meningkatkan nilai keekonomian, diharapkan efisiensi biaya dan insentif (antara lain tax allowance) untuk optimalisasi tarif diharapkan lebih kompetitif," ujar Satya.

Baca juga: RI Kantongi Komitmen Pendanaan Rp 147,8 Miliar dari Selandia Baru buat Kembangkan Panas Bumi

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com