Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tom Lembong Sebut Hilirisasi Nikel di Indonesia Terlalu Dipaksakan

Kompas.com - 10/02/2024, 12:00 WIB
Agustinus Rangga Respati,
Sakina Rakhma Diah Setiawan

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Co-Captain Tim Nasional Pemenangan Anies-Muhaimin (Timnas Amin), Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menganggap hilirisasi nikel di Indonesia terlalu dipaksakan.

Hal ini membuat hilirisasi nikel jadi mengesampingkan aspek lingkungan hidup, keselamatan pekerja, hingga rasionalitas pasar.

"Kalau lihat tren harga nikel itu sempat melonjak waktu kita tutup keran ekspor, merugikan nasabah kita, mungkin menguntungkan kita. Tapi setelah hilirisasi ini sudah jalan dan kita membanjiri dunia dengan nikel, harganya anjlok," kata dia dalam program GASPOL Kompas.com, dikutip Sabtu (10/2/2024).

Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi Malut dan Sulteng Melesat, Pemerintah: Berkat Hilirisasi Jokowi

Ilustrasi nikel.SHUTTERSTOCK/lp-studio Ilustrasi nikel.

Ia menambahkan, hal ini hanya memberikan keuntungan sementara terhadap ekonomi Indonesia.

Mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016 itu menuturkan, pola bekerja seperti ini merugikan semua pihak. Pola ini juga dikenal dengan boom and bust yang berarti setelah harga naik, perlahan akan turun menuju kolaps.

"Jadi yang lebih rasional itu, tidak ugal-ugalan, lebih konsisten, jadi peningkatan proyeksinya itu pelan-pelan dan betahap," imbuh dia.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI sendiri menyebut, eksploitasi nikel yang dilakukan saat ini dapat membuat total cadangan nikel habis dalam 15 hingga 20 tahun ke depan.

Baca juga: Luhut Yakin Prabowo Lanjutkan Program Jokowi, Termasuk Hilirisasi

Untuk itu, ketika penambangan nikel dilakukan dengan lebih perlahan termasuk pemrosesan dan penjualan, harapannya cadangan nikel Indonesia dapat bertahan 30 hingga 50 tahun ke depan.

"Jadi ini kaya, keruk, lempar ke pasar dunia, sebentar lagi sudah habis. Nanti 20 tahun lagi kita butuh nikel kita harus keliling dunia ngemis-ngemis, balikin dong impornya," terang dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com