Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jazak Yus Afriansyah
Trainer

Author, Coach, Trainer.
Master of Technology Management.

Mendiagnosa 5 Gejala Jurang Kepemimpinan (Bagian II)

Kompas.com - 06/03/2024, 14:47 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBAGAIMANA dijelaskan pada artikel pertama, sebagian besar Generasi Kolonial saat ini secara umum menduduki posisi middle manager, senior manager, director, CEO dan posisi sederajat. Mereka tentu memimpin para Millennial.

Apa yang sekarang terjadi?

Baca juga: Mewaspadai 6 Dampak Buruk Gejala Jurang Kepemimpinan (Bagian I)

Karena ketidaktahuan, sebagian besar para pemimpin ini terjebak ke dalam zona nyaman. Mereka tanpa sadar memimpin para Millennial menggunakan cara atau pendekatan sebagaimana mereka dipimpin oleh atasannya terdahulu.

Atau setidaknya, mereka menggunakan cara yang membuat mereka sukses di masa lalu.

Apakah hal ini salah? Tentu tidak! Hanya saja cara memimpin tersebut tidak tepat, karena cara atasan mereka memimpin terdahulu sangat tidak cocok dan tidak relevan untuk Generasi Millennial saat ini.

Ketidakcocokan ini sebagaimana uraian di atas secara ilmiah dipicu perbedaan karakter, sikap, perilaku, dan preferensi yang sangat menganga lebar antara Generasi Millennial dengan Generasi Kolonial.

Alhasil, dalam proses kepemimpinan tersebut sering terjadi friksi, gesekan atau perselisihan pendapat di antara Generasi Kolonial yang memimpin dengan Generasi Millennial yang dipimpin.

Atau sebaliknya dalam beberapa kondisi langka, Generasi Kolonial dipimpin oleh Generasi Millennial.

Friksi tersebut karena tidak dikelola dengan bijaksana berkembang menjadi konflik terbuka yang tidak produktif. Karena konflik yang tidak produktif tersebut gagal dikendalikan akhirnya meledak menjadi pembangkangan dan perlawanan oleh para Millennial.

Perlawanan tersebut bisa terlihat sangat vulgar dan nyata, misalnya, mereka mengajukan mosi tidak percaya, melawan perintah atasan, menolak melaksanakan tugas dan puncaknya mereka mengajukan resign secara mendadak.

Terkadang resign tersebut dilakukan secara berjamaah, seperti gerakan resign yang terjadi secara masif dengan frekuensi tinggi dan jumlah banyak, di atas rata-rata normal angka turnover karyawan yang bisa ditoleransi secara bisnis.

Sesungguhnya situasi tersebut sangat berkesesuaian dengan hasil riset yang dilakukan lembaga konsultan HR terbesar di dunia yang mengatakan bahwa 70 persen hingga 75 persen karyawan resign pada hakikatnya meninggalkan atasan langsung mereka, bukan meninggalkan perusahaan. Jelas kondisi ini akan sangat mengganggu bisnis perusahaan.

Namun terkadang perlawanan tersebut dilakukan secara tersamar dengan halus. Artinya mereka tidak menunjukkan secara vulgar, namun membungkusnya dengan rapi sehingga terlihat seperti bukan pembangkangan.

Misalnya, mereka tidak menolak secara frontal tugas yang menjadi tanggung jawabnya, namun secara sistimatis para karyawan ini tidak menyelesaikan tugas tersebut dengan baik sesuai dengan target yang telah ditentukan.

Pada beberapa kasus ditemukan mereka mengerjakan hanya karena ingin sekadar menggugurkan kewajiban tanpa komitmen untuk mencapai hasil maksimal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com