Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Menyoal Polemik Kenaikan PPN 12 Persen

Kompas.com - 18/03/2024, 06:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

USAI naiknya pajak hiburan menuai polemik pada Januari lalu, ranah perpajakan kembali menyorot perhatian publik.

Kali ini, polemik muncul usai Menko Perekonomian, Airlangga Hartanto, memastikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan naik menjadi 12 persen di 2025 (Kompas.com, 9/3/2024).

Protes yang muncul dari berbagai kalangan bukan tanpa alasan. Kenaikan ini terbilang agresif karena tarif PPN baru saja naik menjadi 11 persen pada April 2022.

Kenaikan tarif 1 persen pada saat itu juga tergolong kebijakan berani. Hal ini karena tarif PPN yang identik sebesar 10 persen tidak pernah diubah sebelumnya sejak pertama kali PPN diundangkan pada 1983.

Dengan rencana kenaikan kembali menjadi 12 persen tahun depan, tarif PPN akan menjadi yang tertinggi di ASEAN, menyamai Filipina.

Sebagai perbandingan, tarif PPN yang berlaku di Thailand sebesar 7 persen, Singapura sebesar 9 persen, dan Malaysia sebesar 10 persen.

Wacana tarif PPN sebesar 12 persen pada 2025, sebenarnya bukan barang baru. Aturannya telah ditetapkan sejak Oktober 2021 dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Peningkatan PPN dilakukan dalam dua tahap, yaitu pada April 2022 dan Januari 2025, agar tidak menimbulkan syok pada perekonomian.

Namun, polemiknya baru muncul sekarang usai pernyataan Menko Perekonomian yang menyinggung keberlanjutan.

Sebenarnya, ada dasar yang cukup untuk meyakini bahwa kenaikan PPN ini tetap akan berlaku di 2025, tanpa tergantung siapa presiden dan wakil presiden terpilih berdasarkan hasil pemilihan presiden lalu.

Kenaikan PPN menjadi 12 persen telah ditetapkan sejak 2021, jauh sebelum masa kampanye dan pelaksanaan pilpres. Selain itu, undang-undang yang telah ditetapkan juga tidak dapat diamandemen dalam waktu singkat.

Di satu sisi, meski terdapat ayat lanjutan yang juga menyatakan bahwa tarif PPN dapat diubah hingga paling rendah 5 persen melalui peraturan pemerintah, tidak ada catatan bahwa diskresi tersebut pernah terjadi sepanjang sejarah UU PPN.

Polemik naiknya tarif PPN sebenarnya serupa dengan polemik pajak hiburan lalu, yang pernah saya bahas dalam kolom “Mengurai Polemik Kenaikan Pajak Hiburan” (Kompas.com, 29/1/2024).

Tidak mudah untuk mengamandemen undang-undang yang mendasari kenaikan pajak, meskipun menuai protes dari banyak kalangan.

Selain itu, baru ramainya perbicangan PPN 12 persen setelah 2 tahun lebih UU HPP berjalan, mirip dengan situasi kenaikan pajak hiburan yang telah diatur sejak 2022 dalam UU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com