Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andrean Rifaldo
Praktisi Perpajakan

Praktisi perpajakan. Tulisan yang disampaikan merupakan pendapat pribadi dan bukan merupakan cerminan instansi.

Menyoal Polemik Kenaikan PPN 12 Persen

Kompas.com - 18/03/2024, 06:26 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Sangat disayangkan, hal ini menunjukkan masih minimnya literasi masyarakat terhadap hukum pajak.

Meski demikian, hal ini tidak serta-merta membuat kenaikan PPN langsung dapat dibenarkan. Isu ini menjadi polemik karena muncul pada saat daya beli masyarakat justru tengah melemah.

Saat ini, publik tengah disulitkan dengan naiknya harga komoditas, termasuk beras yang mencapai level tertinggi dalam sejarah meskipun sebenarnya bukan barang kena PPN.

Apabila situasi ekonomi saat ini berlanjut di 2025, kenaikan PPN tentu akan semakin memberatkan daya beli masyarakat.

Sektor industri dengan harga jual satuan produk yang tinggi seperti otomotif, properti, dan elektronik, akan lebih merasakan dampak dari kenaikan tarif PPN, meski hanya 1 persen.

Hal ini berpotensi melemahkan pendapatan industri-industri tersebut, yang dapat berujung pada pemangkasan jumlah tenaga kerja.

Selain itu, berbeda dengan pajak penghasilan (PPh) yang bersifat progresif karena dikenakan berdasarkan kemampuan penanggungnya, PPN merupakan pajak regresif karena mengenakan tarif tetap tanpa memperhatikan kondisi keuangan konsumen.

Jumlah pengeluaran PPN yang dibayarkan setiap orang, apabila dihitung secara proporsional terhadap pendapatannya, akan lebih berat bagi masyarakat berpenghasilan rendah dibanding kelompok ekonomi menengah ke atas.

Sebagai contoh, pada Susenas Maret 2023, rata-rata pengeluaran sebulan untuk komoditas bukan makanan yang belum termasuk pajaknya, tercatat sebesar Rp 682.471 per individu. Dengan tarif 11 persen, terdapat tambahan biaya PPN sebesar Rp 75.071.

Dampak dari jumlah ini tentu lebih terasa bagi rumah tangga dengan penghasilan setara upah minimum regional dibandingkan pada rumah tangga berpenghasilan tinggi.

Dampak yang bersifat regresif ini berpotensi meningkatkan kesenjangan dalam masyarakat. Sebagaimana telah saya bahas dalam kolom “Menutup Celah Kesenjangan” (Kompas.com, 14/7/2023), pemerataan ekonomi nasional kini sedang tidak dalam kondisi yang positif.

Sejumlah organisasi internasional, seperti Oxfam dan Program Pembangunan PBB (UNDP), menempatkan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan kesenjangan tertinggi di kawasan Asia Tenggara hingga Asia-Pasifik. Ini menjadi salah satu alasan mengapa kenaikan tarif PPN mungkin belum tepat untuk dilakukan.

Meskipun begitu, perlu diakui bahwa wacana kenaikan PPN juga memiliki tujuan positif. Tambahan penerimaan negara melalui kenaikan tarif dapat memberikan kontribusi signifikan bagi kesehatan keuangan pemerintah.

Hal ini menjadi penting mengingat dalam satu dekade pemerintahan Presiden Joko Widodo, utang pemerintah telah melejit Rp 5.645 triliun, tiga kali lipat dibanding pada 2014 (dirangkum dari Litbang Harian Kompas dan Kompas.com, 30/12/2023).

Per Januari 2024, utang pemerintah tercatat sebesar Rp 8.253 triliun atau setara 38,75 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com