JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, ribuan buruh bakal melakukan aksi unjuk rasa menolak program iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) di depan Istana, Jakarta, pada Kamis, 6 Juni 2024.
"Ribuan buruh yang akan melakukan aksi ini berasal dari Jabodetabek dan berbagai organisasi serikat perkerja seperti KSPI, KSPSI, KPBI, dan juga Serikat Petani Indonesia (SPI) serta organisasi perempuan PERCAYA," kata Said dalam keterangan tertulis, Selasa (4/6/2024).
"Aksi dimulai pukul 10.00 WIB dengan titik kumpul di depan Balaikota dan begerak ke Istana melalui kawasan Patung Kuda," sambungnya.
Baca juga: Pengusaha Ritel Sebut Tapera Bisa Turunkan Daya Beli Masyarakat
Menurut Said, kebijakan Tapera merugikan dan membenani pekerja dengan iuran, di mana meski sudah mengiur selama 10-20 tahun, buruh tidak ada kepastian bisa memiliki rumah.
Selain itu, ia menilai pemerintah lepas tanggung jawab dalam menyediakan rumah. Hal ini, menurut dia lantaran pemerintah hanya bertindak sebagai pengumpul iuran dan tidak mengalokasikan dana dari APBN maupun APBD.
"Permasalahan lain adalah dana Tapera rawan dikorupsi, serta ketidakjelasan dan kerumitan pencairan dana," ujarnya.
Baca juga: Menunda Tapera untuk Pekerja
Said mengatakan, selain menolak PP Tapera, isu lain yang diangkat dalam aksi ini adalah Tolak Uang Kuliah Tunggal (UKT) Mahal, Tolak KRIS BPJS Kesehatan, Tolak Omnibuslaw UU Cipta Kerja, dan Hapus OutSourching Tolak Upah Murah (HOSTUM).
Ia mengatakan, pendidikan seharusnya menjadi jalan menuju kehidupan yang lebih baik, kini menjadi beban yang menghimpit akibat Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mahal.
Akibatnya, bagi anak-anak buruh, mimpi untuk meraih pendidikan tinggi menjadi semakin sulit dengan biaya yang terus melambung.
Terkait Kamar Rawat Inap Standar (KRIS), Serikat Buruh berpendapat kebijakan tersebut menurunkan kualitas layanan kesehatan dan akan semakin memperburuk pelayanan di rumah sakit yang sudah penuh sesak.
"Buruh menuntut pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan memastikan pelayanan kesehatan yang adil dan layak bagi seluruh rakyat," tuturnya.
Baca juga: Tapera Dinilai Bisa Gerus PDB dan Bikin 466.830 Pekerjaan Hilang
Kemudian penolakan terhadap Omnibuslaw UU Cipta Kerja juga disuarakan. Beleid yang diklaim akan mendorong investasi ini, bagi para buruh, adalah simbol ketidakadilan yang melegalkan eksploitasi.
Fleksibilitas kerja melalui kontrak dan outsourcing yang semakin bebas hanya memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk memperlakukan buruh sebagai alat produksi semata, bukan sebagai manusia yang memiliki hak dan martabat.
UU Cipta Kerja juga menyebabkan upah murah, pesangon rendah, mudahnya PHK, jam kerja yang fleksibel, hingga hilangnya beberapa saksi pidana.
Terakhir, Said mengatakan, sistem outsourcing yang tidak memberikan kepastian kerja dan upah yang jauh dari layak, telah menempatkan buruh dalam kondisi yang semakin sulit.
"Tidak ketinggalan, dalam aksi 6 Juni, buruh juga menuntut Hapus OutSourcing Tolak Upah Murah (HOSTUM)," ucap dia.