Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Tarif Baru Ojek Online Bisa Ganggu Ekonomi Indonesia...

Kenaikan tarif juga dinilai tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan pengemudi. Yang ada, kenaikan tarif ini justru berpotensi menggangu ekonomi Indonesia.

Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 348 tahun 2019, terdapat beberapa batasan tarif untuk mitra pengemudi ojek online.

Tarif batas bawah yang semula Rp 1.500 menjadi Rp. 2.000. Tarif batas atas yang semula Rp 2.000 menjadi Rp 2.500.

Kenaikan tarif tersebut rupanya hanya tarif bersih yang didapat mitra pengemudi, bukan konsumen. Akibatnya, tarif yang dikenakan kepada konsumen jauh lebih mahal karena harus membayar jasa sewa aplikasi.

"Tarif atau biaya jasa yang tertera pada Kepmenhub nomor 348 tahun 2019 merupakan tarif bersih yang akan diterima pengemudi. Artinya, tarif yang harus dibayar konsumen akan lebih mahal lagi mengingat harus ditambah biaya sewa aplikasi," ucap Ketua Tim Peneliti Research Institute of Socio-Economic Development, Rumayya Batubara di Jakarta, Senin (6/5/2019).

Di Zona II (Jabodetabek), tarif yang dikenakan terhadap konsumen mencapai Rp 2.500 sampai Rp 3.125 per kilometer sebagai tarif dasar. Padahal dalam keputusan Menteri Perhubungan hanya sekitar Rp 2.000 sampai Rp 2.500. Untuk tarif minimum, dikenakan mulai Rp 8.000 hingga Rp 10.000.

Untuk Zona I (Jawa non-Jabo, Bali, dan Sumatera) dan Zona III (Wilayah sisanya) pun tak jauh berbeda. Di zona I, tarif dasar berada di kisaran Rp 2.312 sampai Rp 2.875. Di Zona III, berada di kisaran Rp 2.625 sampai Rp 3.250.

Kenaikan tarif ojol yang cukup signifikan ini sontak membuat banyak pihak khususnya konsumen tidak setuju. RISED menemukan, 75 persen masyarakat Indonesia menolak kenaikan tarif ini. Kenaikan tarif paling besar ditolak oleh masyarakat Jabodetabek sebesar 82 persen.

Rumayya mengatakan, penolakan ini terjadi karena 72 persen masyarakat pengguna ojek online berpendapatan menengah ke bawah. Apalagi, kesediaan rata-rata konsumen untuk membayar lebih (willingness to pay) berkisar Rp 5.000, sementara kenaikan tarif bisa mencapai Rp 6.000 hingga Rp 15.000.

"Padahal sejak awal, alasan utama konsumen memilih ojol karena keterjangkauan tarifnya," sebut Rumayya.

Kesejahteraan pengemudi

Kenaikan tarif ini pun rupanya tak memicu peningkatan kesejahteraan ojol. Sebab, kenaikan tarif justru menggerus permintaan ojol hingga 75 persen, yang akhirnya bisa berdampak negatif terhadap pendapatan pengemudi.

Seperti diketahui, 75 persen masyarakat telah menolak kenaikan tarif tersebut. Hal ini membuat masyarakat berpindah moda transportasi dan menggerus pendapatan mitra.

"Mereka sekarang beralih ke angkot. Biasanya mereka naik ojol hanya bayar Rp 23 ribu, saat ini mereka membayar hampir dua kali lipat hingga Rp 40.000," ucap Rumayya.

Untuk itu, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal mengimbau aplikator untuk menyejahterakan pengemudi dengan menyesuaikan upah, bukan menaikkan tarif yang berujung meresahkan masyarakat.

Apalagi, jam kerja mitra tidak sepadan dengan hasil upah meskipun rata-rata pendapatan mitra setara dengan Upah Minimum Regional (UMR) atau 25 persen lebih tinggi. Mitra pun lebih banyak terpapar polusi saat bekerja.

"Ini skemanya harus berubah. Dari sisi kesejahteraan kenapa mereka (mitra ojol) tidak lebih sejahtera dibanding teman-temannya yang bekerja di pabrik? Mereka mendapat upah yang sama atau 25 persen lebih tinggi tapi jam kerja enggak teratur," sebut Fithra.

"Seharusnya ini kesepakatan bersama antara aplikator dan pengemudi. Bukan tarifnya malah dibebankan ke konsumen. Karena konsumen sudah cukup terbebani," lanjutnya.

Inflasi terancam melonjak

Selain relasi pengemudi, konsumen, dan aplikator, kenaikan tarif ini ternyata memengaruhi ekonomi makro Indonesia. Kenaikan tarif ojek online yang momennya berbarengan dengan puasa, bisa mendongkrak inflasi yang di saat itu memang sudah tinggi.

"Keterkaitan kenaikan harga ini terhadap inflasi bisa mencapai 20 hingga 30 persen. Kalau saya masukkan faktor ekspektasi, itu bisa sampai 50 persen," kata Fithra.

Penerapan tarif baru yang realitasnya merupakan kenaikan tarif ini disayangkan karena momentumnya berdekatan dengan bulan Ramadhan. Pasalnya, Inflasi cenderung meningkat saat puasa dan Hari Raya, menyusul naiknya permintaan masyarakat bagi sejumlah komoditas.

"Kenaikan tarif ojol yang cukup tinggi tentunya akan berkontribusi bagi semakin tingginya tingkat inflasi. Apalagi berdasarkan hasil survey RISED, biaya pengeluaran transportasi sehari-hari berkontribusi sekitar 20 persen per bulannya," sebutnya.

Selain itu, kenaikan tarif ojol juga berdampak pada penjualan 70 persen UKM. Padahal sektor ini menyumbang hingga Rp 70 triliun terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sebagai contoh, restoran mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi hingga 6,71 persen, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5 persen pada tahun 2018. Jika tarif naik, maka penjualan pun akan semakin menyurut dan tidak mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi hingga 6 persen lagi.

"Itu baru restoran. Kalau ditambah sektor-sektor kunci lain yang juga membantu meningkatkan perekonomian, maka dampaknya akan semakin besar akibat kenaikan tarif ini," ungkap Fithra.

"Kalau satu-satu pertumbuhan ini dipreteli, maka bisa jadi pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa sampai 5 persen. Bisa jadi. Jika melihat dampak-dampaknya, saya rasa ini patut dievaluasi," tandasnya.

Apalagi, Fithra menyebut kenaikan tarif transportasi tidak sebentar. Sebab, kenaikan tiket pesawat pada bulan November hingga Desember 2018 pun dampaknya masih terasa hingga Februari 2019.

Jika kenaikan tarif ini berlangsung lama, Fithra menyebut hal ini akan memberikan kontraksi akut terhadap perekonomian yang mencapai Rp 30 sampai Rp 40 triliun.

"Pada akhirnya, Indonesia akan berpotensi kehilangan bisnis tertentu yang menjadi salah satu sumber perekonomian," kata Fithra.

Untuk itu, pemerintah hendaknya mengevaluasi regulasi tarif bisnis ojol.

"Sudah saatnya pemerintah mendasarkan pembuatan kebijakan pada bukti-bukti statistik mengenai kondisi objektif yang terjadi di masyarakat. Perlu evaluasi berkala dalam jangka waktu yang tidak terlalu panjang, supaya bisa meninjau efektivitas kebijakan terhadap kesejahteraan konsumen dan pengemudi," ucap Rumayya.

https://money.kompas.com/read/2019/05/07/093400126/tarif-baru-ojek-online-bisa-ganggu-ekonomi-indonesia-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke