Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Fenomena Strong Dollar Bisa Perparah Kondisi Ekonomi Global, Mengapa?

Namun, ada satu hal yang bisa jadi penghalang berulangnya sejarah tersebut, yaitu menguatnya dollar AS terhadap mata uang negara-negara di dunia. Fenomena tersebut biasa disebut dengan strong dollar.

Seperti dikutip Kompas.com dari CNN, ketika petumbuhan ekonomi global melambat, dan ekonomi Amerika Serikat menunjukkan pertanda melemah, investor akan mencari tempat agar uang yang mereka miliki bisa tetap tumbuh.

Pasar negara berkembang, seperti Korea Selatan, Brasil atau India, juga Indonesia memang menjadi negara yang berisio untuk berinvestasi, tapi kerap kali menawarkan imbal hasil yang lebih menarik jika dibandingkan dengan negara maju seperti Jerman atau Amerika Serikat.

Perekonomian negara-negara tersebut kerap kali didorong oleh ekspor dan sangat bergantung pada pergerakan harga komoditas dunia.

Ketika resesi diikuti dengan krisis keuangan, China menjadi negara yang diuntungkan oleh kondisi perekonomian global tersebut. Negeri Tirai Bambu itu bisa tumbuh hingga mendekati 9 persen, didorong oleh konsumsi domestik yang kuat.

"Tanpa China, pertumbuhan ekonomi global bisa negatif di 2009," ujar ekonom Bank of America David hauner dalam keterangan tertulis.

Namun, kondisi perekonomian dunia telah berubah dalam satu dekade terakhir. China kemungkinan tidak lagi sekuat dulu. Ekonomi negara tersebut juga melambat.

Akan sulit bagi negara berkembang untuk membantu menghindari resesi global selama dollar AS terus kuat. Pasalnya, pasar negara berkembang cenderung memiliki utang dalam bentuk dollar AS.

Negara-negara itu, umumnya rentat terhadap pergerakan greenback (julukan bagi dollar AS) yang kuat, karena bisa membuat bunga dari utang menjadi lebih mahal.

Jika dollar AS lebih lemah, bisa meredakan kondisi tersebut dan memungkinkan pasar negara berkembang bisa tumbuh lebih cepat. Hal itu bisa membuat dunia keluar dari risiko resesi pertumbuhan ekonomi global.

Adapun dalam beberapa bulan terakhir, bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve telah menurunkan suku bunga yang bisa secara bertahap melemahkan dollar AS.

Namun, dampaknya belum terasa saat ini.

"Negara berkembang bisa 'menyelamatkan dunia' dalam penurunan ini, tetapi saat ini perlu dollar AS yang lebih lemah serta kebijakan The Fed jauh lebih dovish," ujar Hauner.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa lainnya semakin khawatir, bahwa kebijakan suku bunga yang sudah sangat rendah tidak benar-benar bisa merangsang pertumbuhan.

Jepang telah menjadi contoh itu, dan saat ini investor pun mulai membicaarakan mengenai Japanification of Europe.

Sementara Amerika Serikat di sisi lain tumbuh lebih cepat dibanding negara-negara pesaingnya. Namun tetap saja ekonomi Negeri Paman Sam juga tumbuh melambat.

Pekan depan, The Fed akan melakukan pertemuan pejabatnya, dan para ekonom dan analis berasumsi bank sentral akan kembali menurunkan suku bunga mereka sebesar 25 bps. Kemungkinan penurunan suku bunga tersebut, menurun CME FedWatch Tool mencapai 90 persen.

Mata uang umumnya akan melemah ketika ada pelonggaran kebijakan moneter.

Keluhan tentang kuatnya mata uang Amerika Serikat itu meningkat tahun ini. Mulai dari Presiden Donald Trump hingga kandidat presiden dari Partai Demokrat Elizabeth Warren menilai kuatnya dollar membuat barang-barang AS kurang kompetitif di pasar global.

Sebenarnya, jila dilihat dari ICE US Dollar Index yang kerap menjadi acuan, jika dibandingkan dengan enam negara lain, dollar AS sebenarnya hanya naik 1,6 persen tahun ini. Tetapi jika dibandingkan secara spesifik per mata uang, menunjukkan gambaran yang berbeda.

Dollar menguat 1,9 persen terhadap rupee India, 4,1 persen terhadap real Brasil, dan 5,5 epersen terhadap won Korea Selatan sejak awal tahun. Melemahnya mata uang negara berkembang tersebut sebagian besar karena perang dagang.

"Yang memperburuk masalah, utang negara-negara tersebut sebagian besar dalam bentuk dollar AS.  sementara dalam transaksi ekonomi, sebagian besar dari mereka membayar dalam euro," kata Hauner.

Jadi negara-negara tersebut juga secara unik terpapar dengan pergerakan nilai tukar euro-dollar. Tahun ini, mata uang Eropa bersama telah jatuh 3,2 persen terhadap greenback.

 

https://money.kompas.com/read/2019/10/28/064000326/fenomena-strong-dollar-bisa-perparah-kondisi-ekonomi-global-mengapa-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke