JAKARTA, KOMPAS.com - Hingga hari ini, bisa jadi masih banyak yang belum mengetahui bahwa pekerja perempuan memiliki jatah cuti haid selama bekerja.
Sekalipun beberapa pekerja mengetahuinya, mengajukan cuti haid masih jadi perkara yang asing, bahkan dinilai tak perlu diambil lantaran beberapa alasan seperti repot hingga stigma dinilai manja oleh atasan.
Padahal, tamu yang datang rutin sebulan sekali ini kerapkali sangat menggangu aktivitas karena nyeri dan pegal yang dirasakan.
Bahkan datang bulan tak jarang menggangu suasana hati dan pikiran yang secara tak langsung berpengaruh pada rutinitas kerja.
Beberapa pekerja perempuan merasakan haid ringan, namun ada pula yang merasakan sakit berat sehingga tak bisa melakukan aktivitas apa pun, maka dirasa perlu mengambil cuti haid.
Pemerintah sendiri mengatur hak cuti haid bagi pekerja perempuan. Ini diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam pasal 81, pekerja wanita dalam masa haid bisa diberikan hak cuti pada hari pertama dan kedua saat haid datang.
"Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid," bunyi ayat (1) pasal 81.
Hak mengajukan cuti saat menstruasi, masuk dalam perjanjian kerja, sehingga perusahaan tak bisa menolak pengajuan cuti datang bulan dari pekerjanya.
"Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama," bunyi ayat (2) UU tersebut.
Dengan dasar UU Nomor 13 Tahun 2003, jelas tertera bahwa hak cuti selama menstruasi dimiliki pekerja wanita setiap bulannya selama satu sampai dua hari yang tertuang dalam perjanjian bersama atau PKB yang sifatnya mengikat kedua belah pihak.
https://money.kompas.com/read/2020/01/29/082450326/mengenal-aturan-cuti-haid-bagi-pekerja-perempuan