Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Peneliti LIPI Soal UU Cipta Kerja: Pekerja Lebih Produktif, Tapi...

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fathimah Fildzah Izzati, mengatakan UU Cipta Kerja memang bisa membuat pekerja lebih produktif, namun tingkat upah dan kesejahteraan rendah.

"Iya dituntut lebih produktif karena upah didasarkan pada satuan waktu dan hasil, tapi dengan tingkat upah dan kesejahteraan yang sangat rendah," kata Fildzah dilansir dari Antara, Rabu (7/10/2020).

Sebelumnya, Fildzah mengatakan di dalam pasal 88 B UU Cipta Kerja disebutkan bahwa upah ditetapkan berdasarkan dua hal, yaitu satuan waktu dan satuan hasil. Itu berarti upah yang diterima pekerja akan lebih besar jika waktu bekerja lebih lama dan hasil pekerjaan lebih banyak.

"Kita sudah bisa melihat contohnya para supir taksi dan ojek daring di ekonomi perusahaan-perusahaan seperti Gojek, Grab, dan lain-lain. Mereka kan kerja berdasarkan order yang mereka terima. Mereka bisa bekerja melebihi jam kerja pada umumnya, misalnya delapan jam kerja, karena ingin mendapatkan penghasilan yang lebih," kata Fildzah.

Namun, kata Fildzah, bukan jaminan bahwa pekerja akan mendapatkan besaran upah dan tingkat kesejahteraan yang layak pada satu pekerjaan yang diampu kepadanya.

"Sebab, struktur dan skala upah ditentukan oleh kemampuan perusahaan," ujar dia.

Fildzah mengatakan ketentuan semula berdasarkan pasal 92 Undang-Undang Ketenagakerjaan diubah dengan UU Omnibus Law tersebut.

Kini, dengan disahkannya UU Cipta Kerja itu, pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.

Semula, pada pasal 92 UU Ketenagakerjaan, pengusaha menyusun struktur dan skala upah dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi pekerja.

Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah.

Kemudian ditegaskan pula melalui pasal sisipan setelahnya yaitu pasal 92 A yang menyebutkan: 'Pengusaha melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas'.

Fildzah mengatakan dirinya tidak dapat mendukung ruh yang ada di dalam Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.

"Kalau, kesannya kayak pro sama omnibus law. Padahal saya menentang," kata Fildzah.

Klaim Menaker

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengungkapkan terdapat sejumlah perlindungan tambahan kepada pekerja dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

“Klaster ketenagakerjaan merupakan klaster yang banyak sekali terjadi distorsi informasi yang begitu masif di masyarakat,” kata Ida.

Menurut Menaker, UU Cipta Kerja itu tetap mengatur ketentuan perlindungan hak bagi pekerja atau buruh Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang menjadi dasar penyusunan perjanjian.

Adapun tambahan tersebut di antaranya untuk pekerja atau buruh PKWT diberikan perlindungan tambahan berupa kompensasi ketika masa PKWT berakhir.

“Ada tambahan baru yang tidak dikenal dalam UU Nomor 13 Tahun 2003, yang justru memberikan perlindungan pada pekerja PKWT yaitu kompensasi ke pekerja/buruh saat berakhirnya PKWT,” kata Ida.

Dalam UU Cipta Kerja itu, lanjut dia, juga memasukkan prinsip pengalihan perlindungan hak bagi pekerja/buruh apabila terjadi pergantian perusahaan alih daya sepanjang obyek pekerjaan masih ada.

Menaker juga menyebutkan bahwa syarat-syarat perizinan perusahaan alih daya yang terintegrasi dalam Online Single Submission (OSS) juga diatur dalam UU Cipta Kerja ini sehingga ada pengawasan kepada perusahaan outsourcing yang tidak terdaftar.

UU Cipta Kerja, kata dia, juga mengatur ketentuan baru terkait pengaturan waktu kerja dan istirahat pada sektor usaha dan pekerjaan tertentu di era ekonomi digital, dan mengakomodasi tuntutan dari pekerja/buruh.

Tak hanya itu, perlindungan tambahan baru yakni UU Cipta Kerja ini menghapus ketentuan mengenai penangguhan pembayaran upah minimum.

“Tidak bisa ditangguhkan. Itu clear di UU Cipta Kerja,” kata Ida.

Untuk memberikan penguatan perlindungan kepada pekerja/buruh, lanjutnya, Omnibus Law ini juga mengatur ketentuan pengupahan bagi sektor usaha mikro dan kecil.

“Perlindungan itu tidak hanya pada pekerja formal saja, juga harus memastikan perlindungan bagi pekerja sektor usaha mikro kecil,” kata Ida.

Dalam UU Cipta Kerja juga mengatur ketentuan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja, selain pesangon yang diberikan pengusaha.

“Adanya skema di samping pesangon yang diberikan pengusaha, pekerja mendapatkan JKP yang ini tidak dikenal dalam UU 13 tahun 2003,” kata dia lagi.

Namun Menaker tidak membeberkan besaran pesangon yang diberikan kepada pekerja kena PHK, termasuk besaran JKP yang akan diberikan. Adapun rincian uang pesangon diatur dalam pasal 156 UU Cipta Kerja.

https://money.kompas.com/read/2020/10/07/223200626/peneliti-lipi-soal-uu-cipta-kerja--pekerja-lebih-produktif-tapi-

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke