Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kandidat Gubernur BI dan Harapan Suku Bunga Rendah dari Presiden

Ketiganya datang dari lembaga dengan otoritas mumpuni dalam menavigasi perekonomian dengan track record masing-masing. Sri Mulyani datang dari otoritas fiskal (Menteri Keuangan saat ini) dengan track record menavigasi kebijakan fiskal selama pandemi Covid-19.

Perry Warjiyo (Gubernur BI saat ini) datang dengan track record sebagai otoritas moneter dalam mengendalikan inflasi, menjaga stabilitas nilai tukar melalui kebijakan moneter dan kelancaran sistem pembayaran serta makroprudensial selama masa wabah Covid-19.

Demikian halnya Purbaya (Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan/LPS) datang dengan background sebagai otoritas resolusi di LPS, dalam menjaga dan menjamin serta meresolusi agar tak ada bank gagal berdampak sistemik terhadap perekonomian di tengah pandemi Covid-19.

Pada 23 Februari 2023, kabar beredar bahwa nama calon gubernur BI yang diteken Presiden  Joko Widodo (Jokowi) untuk diusulkan ke DPR hanya satu; yakni petahana Perry Warjiyo. Benarkah demikian? Kita tunggu saja, siapa yang bakal menjalani fit and proper test di Komisi XI DPR RI.

Siapapun calonnya, tantangan ke depan tidak mudah. Khususnya terkait tantangan makro ekonomi, baik terkait pengendalian inflasi maupun menjaga stabilitas nilai tukar. Fluktuasi harga pangan dan energi serta terganggunya rantai pasok global akibat konflik geopolitik masih menjadi pemantik ketidakpastian dan inflasi global yang terus berlangsung.

Kandidat Pro Suku Bunga Murah

Sejak Amerika Serikat (AS) dan negara-negara ekonomi maju berjibaku dengan inflasi tinggi, era likuditas murah dengan suku bunga hingga nol persen pasca-2008 berakhir. Sabuk moneter melalui suku bunga kebijakan yang ketat memberikan ketakanan serius pada cost of fund dunia usaha.

Bangkrutnya lembaga keuangan di negara maju seperti AS adalah nyata. Tak luput, efek tularnya hingga ke Indonesia.

Kabar yang mengemuka di media, Presiden Jokowi memberikan tantangan bagi Gubernur BI ke depan untuk bisa mendorong kebijakan suku bunga murah melalui pengendalian BI 7 Day Repo Rate (BI7DRR) yang akomodatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Keinginan Presiden tersebut dengan harapan pertumbuhan kredit dapat menjadi katalis laju pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 7 persen sebagai pemenuhan janji politik Jokowi.

Namun lagi-lagi, arah kebijakan moneter yang sifatnya ekspansif (expansionary monetary policy) dan kontraktif (contractionary monetary policy) sangat bergantung pada siklus bisnis atau konjungtur ekonomi. Selain itu, politik diskonto adalah salah satu strategi dari kerangka kerja Inflation Targeting Framework (ITF), sehingga suku bunga kebijakan adalah sinyal kebijakan moneter dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB) sebagai sasaran operasional.

Demikian juga pengaturan di sektor keuangan secara makro (macroprudential regulatory framework) sebagai bentuk dari fleksibel ITF.

Pekerjaan rumah yang diberikan Presiden, bukanlah suatu perkara yang berdiri sendiri, tapi berkelindan dengan perekonomian global. Terutama negara-negara maju yang kemungkinan masih menjalankan tightening policy atas suku bunga bank sentralnya dalam mencapai sasaran inflasi. BI mau tak mau tetap mengambil kebijakan terhadap suku bunga sebagai bentuk respon kebijakan.

Untuk memahami keinginan Presiden, perspektif yang dapat dielaborasi adalah efektivitas transmisi kebijakan moneter diharapkan memiliki dua implikasi.

Pertama, kebijakan moneter ketat melalui pendekatan politik diskonto sebagai salah satu instrumen moneter, diharapkan memiliki transmisi pada pengendalian inflasi sebagai mandat atau tujuan utama (overriding objective) atau sebagai implementasi dari ITF, sehingga inflasi tidak menggerus daya beli dan pertumbuhan ekonomi.

Kedua, sementara kebijakan moneter longgar melalui policy rate diharapkan memiliki efektivitas transmisi pada biaya kredit yang murah sehingga mendorong laju output. Dengan demikian, dapat digarisbawahi, suasana batin Presiden menginginkan BI dapat mengaktivasi peran tambahannya dalam ikut menjaga “pertumbuhan ekonomi” sebagaimana tereksplisit dalam UU PPSK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan).

Transmisi kebijakan moneter bank sentral, selain OPT (operasi pasar terbuka), diharapkan berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi dan keuangan melalui berbagai saluran transmisi kebijakan moneter. Di antaranya saluran uang, kredit, suku bunga, nilai tukar, harga aset , dan ekspektasi.

Dari sektor keuangan, transmisi kebijakan moneter diharapkan berpengaruh terhadap suku bunga, nilai tukar, dan harga saham di samping volume dana masyarakat yang disimpan di bank, kredit yang disalurkan bank kepada dunia usaha, penanaman dana pada obligasi, saham maupun sekuritas lainnya.

Sedangkan di sektor riil, transmisi kebijakan moneter diharapkan memengaruhi perkembangan konsumsi, investasi, ekspor dan impor, hingga pertumbuhan ekonomi dan inflasi yang merupakan sasaran akhir kebijakan moneter.

Lantas, apakah ekspektasi transmisi kebijakan plus harapan Presiden itu terjawab dengan kebijakan moneter sepanjang pandemi Covid-19? Sepanjang tahun 2020-2021, kebijakan moneter dalam menjangkar inflasi terbilang efektif, karena inflasi selalu di bawah sasaran (forward guidance) yang ditetapkan dalam APBN.

Sesuai data BPS, inflasi kumulatif tahun 2020 adalah 1,68 persen, tahun 2021 sebesar 1,87 persen atau inflasi masih di bawah sasaran 3 persen ± 1 persen. Sementara inflasi Indek Harga Konsumen (IHK) tahun 2022 adalah 5,51 persen.

Disinflasi yang ditoreh sepanjang dua tahun (2020-2021), di satu sisi menggambarkan efektivitas transmisi kebijakan moneter dalam menjangkar inflasi. Namun pada saat yang bersamaan, inflasi yang rendah juga merefleksikan daya beli masyarakat yang belum benar-benar pulih setelah melandainya kasus Covid-19.

Hal tersebut terlihat dari rata-rata pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang masih kontraksi dan melambat dari pra Covid-19. Bahkan hingga Januari 2023, konsumsi rumah tangga masih berada di bawah level pra Covid-19.

Sementara inflasi di tahun 2022 yang berada di atas sasaran BI menggambarkan aktivitas ekonomi yang mulai menggeliat (pasca Covid-19), sehingga mendorong pertumbuhan permintaan.

Namun pada saat yang sama, output yang belum pulih dan rantai suplai yang terganggu akibat faktor eksternal global membuat inflasi di tahun 2022 bergerak melampaui sasaran otoritas. Terutama andil inflasi dari komponen bergejolak seperti makanan dan energi.

Transmisi kebijakan bank sentral, memang agak terbatas, bila inflasi dipicu oleh komponen bergejolak seperti pangan dan energi. Karena itu membutuhkan kolaborasi dari sisi moneter dan fiskal.

Secara ekstrenal, dari data US Bureau of Labor Statistics terbaru (14/Maret/2023), inflasi bulanan AS terkerek 0,4 persen dan inflasi tahunannya 6 persen atau lebih rendah dari sebelumnya 6,4 persen.

Inflasi tahunan yang turun serta bangkrutnya bank-bank kakap AS pada awal Maret 2023 akibat tekanan likuiditas mahal, memungkinkan The Fed akan melonggarkan sabuk moneternya. Hal tersebut membuka ruang bagi pergerakan bunga ke depan yang cenderung melandai.

Tentu saja hal ini sejalan dengan ekspektasi Presiden Jokowi.

Efektivitas Kebijakan

Secara teori, tujuan akhir kebijakan moneter adalah menavigasi nilai rupiah yang salah satunya tercermin dari tingkat inflasi yang rendah dan stabil. Agar tujuan tersebut tercapai, BI menetapkan suku bunga kebijakan BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebagai instrumen kebijakan utama untuk memengaruhi aktivitas kegiatan perekonomian dengan tujuan akhir pencapaian inflasi.

Namun politik diskonto BI dan transmisi kebijakan BI7DRR hingga pencapaian sasaran inflasi melalui berbagai kanal memerlukan waktu (time lag). Time lag masing-masing jalur bisa berbeda-beda sesuai dinamika ekonomi aktual.

Dalam kondisi normal, perbankan akan merespons kenaikan/penurunan policy rate BI dengan kenaikan/penurunan suku bunga perbankan. Akan tetapi, bila risiko perekonomian mengalami eskalasi, respons kebijakan suku bunga perbankan terhadap penurunan suku bunga kebijakan BI akan lebih lambat.

Demikianpun saat perbankan melakukan konsolidasi permodalan, penurunan suku bunga kredit dan peningkatan permintaan kredit tidak selalu direspons dengan meningkatkan penyaluran kredit.

Dari sisi permintaan, penurunan suku bunga kredit perbankan juga tidak selalu direspons dengan meningkatnya permintaan kredit oleh masyarakat, apabila prospek perekonomian sedang lesu.

Efektivitas transmisi kebijakan moneter melalui pengaruhnya pada pergerakan suku bunga pasar uang dan suku bunga perbankan ditentukan juga oleh konjungtur ekonomi/siklus bisnis domestik dan global. Kebijakan moneter melalui suku bunga sebagai sinyal tidak berdiri sendiri, tapi dipengaruhi oleh inflasi sebagai faktor kunci suku bunga ketat atau longgar.

Karena itu, rezim suku bunga murah, sebagaimana harapan Presiden pada calon gubernur BI yang akan datang, bukan soal angka—suku bunga, tapi soal dinamika ekonomi yang komprehensif dan stabilitasnya yang terus menerus perlu dijaga.

https://money.kompas.com/read/2023/03/16/113929326/kandidat-gubernur-bi-dan-harapan-suku-bunga-rendah-dari-presiden

Terkini Lainnya

Pasca Halving Bitcoin, Apa yang Harus Dicermati Investor?

Pasca Halving Bitcoin, Apa yang Harus Dicermati Investor?

Earn Smart
KJRI Cape Town Gelar 'Business Matching' Pengusaha RI dan Afrika Selatan

KJRI Cape Town Gelar "Business Matching" Pengusaha RI dan Afrika Selatan

Whats New
Baru 4 Bulan, Sudah 11 Bank Perekonomian Rakyat yang Tumbang

Baru 4 Bulan, Sudah 11 Bank Perekonomian Rakyat yang Tumbang

Whats New
Maskapai Akui Tak Terdampak Pengurangan Bandara Internasional

Maskapai Akui Tak Terdampak Pengurangan Bandara Internasional

Whats New
Bank BTPN Raup Laba Bersih Rp 544 Miliar per Maret 2024

Bank BTPN Raup Laba Bersih Rp 544 Miliar per Maret 2024

Whats New
Melalui Aplikasi Livin' Merchant, Bank Mandiri Perluas Jangkauan Nasabah UMKM

Melalui Aplikasi Livin' Merchant, Bank Mandiri Perluas Jangkauan Nasabah UMKM

Whats New
Hari Tuna Sedunia, KKP Perluas Jangkauan Pasar Tuna Indonesia

Hari Tuna Sedunia, KKP Perluas Jangkauan Pasar Tuna Indonesia

Whats New
Terima Peta Jalan Aksesi Keanggotaan OECD, Indonesia Siap Tingkatkan Kolaborasi dan Partisipasi Aktif dalam Tatanan Dunia

Terima Peta Jalan Aksesi Keanggotaan OECD, Indonesia Siap Tingkatkan Kolaborasi dan Partisipasi Aktif dalam Tatanan Dunia

Whats New
Pasarkan Produk Pangan dan Furnitur, Kemenperin Gandeng Pengusaha Ritel

Pasarkan Produk Pangan dan Furnitur, Kemenperin Gandeng Pengusaha Ritel

Whats New
Punya Manfaat Ganda, Ini Cara Unit Link Menunjang Masa Depan Gen Z

Punya Manfaat Ganda, Ini Cara Unit Link Menunjang Masa Depan Gen Z

BrandzView
Asosiasi Dukung Pemerintah Cegah Penyalahgunaan Narkoba pada Rokok Elektrik

Asosiasi Dukung Pemerintah Cegah Penyalahgunaan Narkoba pada Rokok Elektrik

Whats New
Impor Bahan Baku Pelumas Tak Lagi Butuh Pertek dari Kemenperin

Impor Bahan Baku Pelumas Tak Lagi Butuh Pertek dari Kemenperin

Whats New
Cara Isi Token Listrik secara Online via PLN Mobile

Cara Isi Token Listrik secara Online via PLN Mobile

Work Smart
Pencabutan Status 17 Bandara Internasional Tak Berdampak ke Industri Penerbangan

Pencabutan Status 17 Bandara Internasional Tak Berdampak ke Industri Penerbangan

Whats New
Emiten Sawit Milik TP Rachmat (TAPG) Bakal Tebar Dividen Rp 1,8 Triliun

Emiten Sawit Milik TP Rachmat (TAPG) Bakal Tebar Dividen Rp 1,8 Triliun

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke