Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Insentif Kendaraan Listrik dan Nasib Subsidi Transportasi Publik

Target pemberian subsidi yang dipatok mencakup 35.900 unit mobil listrik, 200.000 unit sepeda motor listrik, 138 unit bus listrik, dan 50.000 unit kendaraan listrik konversi.

Khusus untuk motor listrik, subsidi pemerintah diberikan kepada kendaraan yang diproduksi di Indonesia denganTingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) 40 persen atau lebih.

Bantuan pemerintah ini diutamakan bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM), termasuk pelanggan listrik 450-900 VA, agar mendorong produktivitas dan efisiensi UMKM.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebutkan bahwa peran Pemerintah diperlukan dalam mendorong akselerasi industri otomotif dalam negeri.

Pemerintah perlu memberikan insentif Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) agar Indonesia menjadi tempat yang menarik juga untuk perindustrian KBLBB.

Jika program ini berjalan dengan lancar dan adopsi massal terjadi, industri dalam negeri KBLBB akan terbentuk dan harga KBLBB lebih terjangkau ke depannya.

Dalam pandangan Luhut Binsar Panjaitan, inisiatif Pemerintah ini adalah langkah awal untuk meningkatkan keterjangkauan harga dan daya beli masyarakat terhadap kendaraan listrik lebih luas dan memacu perkembangan industri otomotif energi baru.

Pemerintah juga punya pertimbangan lain. Produksi minyak Indonesia cenderung tidak meningkat.

Dengan angka produksi berada di kisaran 500.000 sampai 600.000 barel per hari, konsumsi BBM di indonesia terus menunjukkan kenaikan hingga mencapai 1,5 juta barel per hari.

Di sisi lain, pasokan listrik nasional mengalami surplus hingga 7 GigaWatt. Oleh karena itu, konversi ke kendaraan listrik menjadi pilihan yang ideal untuk mengurangi konsumsi BBM.

Indonesia tidak sendirian, banyak negara di dunia yang memberikan insentif bagi pembelian kendaraan listrik dengan besaran yang bervariasi.

Pemerintah Singapura, Jepang, China, Korea Selatan, Jerman, Amerika Serikat, Italia, Portugal dan Perancis memberikan insentif dalam jumlah yang sangat besar untuk hal ini. Dampaknya, jumlah pengguna mobil listrik naik secara signifikan.

Kementerian Perindustrian menargetkan pada tahun 2025, setidaknya sebanyak 400.000 unit atau 20 persen kendaraan yang beredar di Indonesia adalah mobil listrik.

Adapun pemberian insentif itu dipercaya bisa meningkatkan penjualan mobil listrik sehingga bisa mencapai target yang ditetapkan.

Insentif ini juga diharapkan bisa mengurangi anggaran subsidi BBM serta merangsang produsen kendaraan listrik global untuk berinvestasi di Indonesia.

Mengapa harus subsidi

Meski mengundang kontroversi, subsidi kerap kali menjadi senjata ampuh pemerintah untuk mengarahkan perilaku publik.

Dari perspektif ekonomi, subsidi terutama ditujukan untuk melakukan realokasi sumber daya, yaitu mengubah aktivitas dan perilaku ekonomi agar dapat mencapai hasil yang lebih 'diinginkan' dari apa yang akan terjadi sebaliknya.

Secara lebih operasional, subsidi dapat dijelaskan sebagai setiap bantuan tata kelola yang memungkinkan konsumen untuk membeli barang dan jasa dengan harga lebih rendah daripada yang ditawarkan oleh sektor swasta dalam suasana persaingan sempurna.

Atau bisa saja subsidi ini diarahkan untuk meningkatkan pendapatan produsen melebihi harga yang seharusnya.

Pun begitu, subsidi yang diberikan pemerintah bagi KBBLB tetap saja mencuatkan pertanyaan. Tak kurang, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu, perlu merespons anggapan sejumlah pihak soal rencana pemberian subsidi KBBLB sebagai kebijakan yang mencoreng rasa keadilan anggaran.

Menurut dia, pemberian subsidi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), tidak berarti mengistimewakan orang kaya.

Pasalnya, dari keseluruhan APBN, pemerintah tetap memprioritaskan pembangunan SDM yang di dalamnya terdapat sektor pendidikan dan kesehatan.

Bahkan, Menteri keuangan Sri Mulyani menegaskan, dalam penghitungan alokasi anggaran pemberian subsidi KBBLB, pemerintah juga telah menghitung terkait industri pendukungnya. Artinya, pemerintah tidak hanya memberi insentif ke para konsumennya saja.

Ini menjadi keharusan mengingat anggaran subsidi untuk KBBLB yang masuk dalam APBN 2023, diperlukan kalkulasi terkait perubahan postur anggaran dan dampak yang akan ditimbulkannya.

Sejak awal, KRL ditujukan untuk mengakomodasi kebutuhan para penglaju secara massal, hemat waktu, antimacet karena menggunakan jalur khusus/rel sehingga lebih aman, nyaman, dan murah.

Dan saat ini, ketika kemacetan jalanan Ibu Kota sudah parah, KRL Jabodetabek menjadi pilihan transportasi publik paling realistik terbaik bagi para pekerja penglaju yang tinggal di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.

Publik terhenyak ketika awal tahun ini, Pemerintah berencana menaikkan tarif KRL. Subsidi tarif tiket KRL dinilai tak tepat sasaran.

Selanjutnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) akan mengubah sistem pembayaran KRL dengan tarif berbeda antara golongan mampu dan tidak mampu.

Dengan pemberlakuan sistem subsidi itu, maka tarif KRL bagi warga masyarakat berkategori mampu dipastikan akan lebih mahal.

Terkait inisiatif tersebut, Walhi DKI bereaksi keras. Subsidi tiket KRL mestinya dipandang bukan sekadar soal bantuan bagi masyarakat mampu atau tidak, tapi lebih kepada dukungan bagi pengguna transportasi publik.

Poin pentingnya, bahwa para pengguna transportasi publik telah berperan dalam menekan angka kecelakaan, kemacetan, polusi udara, serta emisi gas rumah kaca.

Dengan nalar tersebut, para pengguna transportasi umum seharusnya didukung pemerintah melalui subsidi tarif, bukan malah mencabutnya.

Tengok saja parkiran stasiun-stasiun KRL. Tidak hanya kendaraan roda dua, namun juga dipenuhi oleh mobil-mobil pribadi para pekerja komuter.

Ini menggambarkan kemauan warga untuk berpindah dari kendaraan pribadi dan menggunakan moda transportasi publik.

Pesan pentingnya adalah Pemerintah telah berada pada jalur yang benar dalam mendorong masyarakat untuk lebih memilih penggunaan transportasi publik dibanding kendaraan pribadi.

Alih-alih mendistribusikan subsidi yang tepat sasaran, wacana penataan tarif KRL justru akan menggerus budaya menggunakan transportasi publik yang telah mulai terbangun.

Pemerintah sebagai regulator, dituntut untuk selalu menghadirkan dan mempertahankan public value dalam setiap kebijakan yang dirilis untuk mengatasi masalah-masalah publik.

Dalam tataran praktiks, public value memberikan perspektif yang lebih luas untuk mengukur kinerja pemerintah serta dapat dipergunakan sebagai panduan dalam penetapan kebijakan.

Para pengambil kebijakan bisa jadi tidak dapat mendefinisikan dengan jernih public value secara secara absolut.

Namun, mereka tetap berpeluang memutuskan (atau memungkinkan penentuan) apakah opsi kebijakan tertentu lebih berharga daripada opsi kebijakan lain dalam keadaan tertentu.

Perspektif public value ini adalah satu bentuk pendekatan holistik. Dari sini akan dapat terekam sejauh mana melihat totalitas dampak kebijakan yang dikeluarkan membantu meningkatkan kualitas kebijakan serta meningkatkan hubungan antara pemerintah dan warga negara (Kelly et al., 2002:35)

Dalam konteks subsidi bagi KBBLB poin ini menjadi menarik untuk direnungkan.

Subsidi sampai dengan 80 juta bagi pembelian kendaraan listrik tentu menjadi angin segar bagi para pengguna kendaraan pribadi.

Dengan kemampuan finansial yang memadai, tidak akan ada kesulitan untuk membeli kendaraan listrik sebagai pengganti kendaraan konvensional berbasis BBM.

Selanjutnya, penggunaan kendaraan pribadi masih bisa tetap dilakukan, bahkan dengan dukungan yang besar dari negara.

Dalam jangka panjang, subsidi kendaraan listrik pribadi nantinya akan semakin menambah jumlah kendaraan di jalanan.

Yang menyedihkan, di samping wacana pengurangan subsidi tarif KRL, beberapa waktu terakhir, keluhan pengguna transportasi publik khususnya KRL begitu ramai di media.

Banyak di antara armada KRL telah hampir melewati usia pakainya. Sementara, armada pengganti yang semestinya sudah disiapkan belum kunjung ada kepastian ketersediaannya.

Polemik kemudian muncul di antara lembaga pemerintah. Apakah KRL yang dibutuhkan publik itu akan diimpor ataukah akan dipesan dari BUMN penghasil KRL?

Dan jika berlarut tanpa kejelasan solusi, maka masyarakatlah yang akan paling dirugikan.

Publik tentu tidak mau ambil pusing bagaimana pemerintah akan mengupayakannya. Namun publik memiliki hak untuk dapat bermobilitas dengan lancar dengan moda transportasi publik yang telah ada dan dirasakan manfaatnya secara luas.

https://money.kompas.com/read/2023/04/06/055548526/insentif-kendaraan-listrik-dan-nasib-subsidi-transportasi-publik

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke