Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Urgensi "Escape Clause" dalam APBN

Kedua fenomena tersebut tidak pernah terperkirakan sebelumnya yang menimbulkan turbulensi ekonomi dan meluluhlantahkan seluruh perkiraan dan asumsi yang dibuat dalam penyusunan APBN.

Akibatnya, berbagai sasaran dan target pembangunan yang telah ditetapkan sebelumnya menjadi sulit tercapai.

Turbulensi ekonomi kali ini bukanlah yang pertama kali dialami Indonesia. Setidaknya, Indonesia sudah mengalami empat kali turbulensi ekonomi yang merusak perencanaan dan rancangan APBN serta mengganggu stabilitas perekonomian nasional.

Bahkan, satu di antaranya berujung pada krisis politik yang mengakibatkan tumbangnya rezim pemerintahan Orde Baru.

Pertama, turbulensi ekonomi tahun 1980-an, akibat berakhirnya booming minyak bumi. Kedua, turbulensi ekonomi akibat krisis keuangan Asia tahun 1997/1998.

Ketiga, turbulensi ekonomi akibat krisis keuangan global tahun 2008. Keempat, turbulensi yang kita alami saat ini karena Pandemi Covid-19 dan efek perang Rusia – Ukraina.

Merespons berbagai turbulensi ekonomi tersebut, pemerintah membuat kebijakan stimulus fiskal yang diharapkan mampu memulihkan ekonomi dari masa-masa krisis dan tidak berdampak negatif terhadap kualitas kehidupan masyarakat secara luas.

Kebijakan fiskal yang dibuat oleh pemerintah memiliki peran penting dalam membuat stabilitas perekonomian.

Melalui instrumen manajemen keuangan publik, pemerintah dapat memengaruhi kondisi ekonomi, baik melalui sisi penawaran (supply) maupun permintaan (demand).

Pemerintah bisa menciptakan stabilitas ekonomi melalui instrumen yang ada dalam APBN. Ketika kondisi ekonomi menghadapi turbulensi, pemerintah bisa merespons turbulensi tersebut melalui kebijakan countercyclical.

Terdapat dua pendekatan countercyclical yang bisa digunakan oleh pemerintah, yaitu kebijakan diskresi dan kebijakan automatic stabilization atau yang juga dikenal dengan istilah automatic adjustment.

Kombinasi kebijakan diskresi dan automatic stabilization yang dibuat pemerintah untuk menghadapi pandemi Covid-19 telah menghasilkan kebijakan fiskal yang efektif.

Kedua kebijakan tersebut mampu mengembalikan pertumbuhan ekonomi aktual ke tingkat optimalnya.

Bahkan Indonesia bisa dikatakan menjadi salah satu negara yang berhasil melewati masa-masa turbulensi tersebut dengan sangat baik.

Jika kita membandingkan rasio stimulus fiskal dengan Produk Domestik Bruto (PDB), maka kita akan mengetahui bahwa stimulus fiskal yang dikeluarkan pemerintah untuk menghadapi turbulensi ekonomi akibat pandemi Covid-19 tidak begitu besar.

Paket stimulus fiskal yang pertama senilai Rp 33,2 triliun atau hanya 0,2 persen dari PDB. Kemudian pada Maret 2020, pemerintah menambah paket kebijakan stimulus fiskal menjadi sebesar Rp 405 triliun atau 2,6 persen dari PDB.

Selanjutnya secara berturut-turut pemerintah menambah stimulus fiskal sehingga total stimulus fiskal yang telah dikeluarkan pemerintah sampai akhir 2020, mencapai Rp 695,2 triliun atau hanya 4,3 persen dari PDB.

Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara Jepang yang lebih dari 20 persen PDB, Malaysia 17 persen PDB, Australia 16,4 persen PDB, dan Singapura 12 persen dari PDB.

Namun menariknya, stimulus fiskal yang kecil tersebut mampu meredam penyebaran virus Covid-19 secara signifikan.

Bahkan dengan anggaran yang terbatas tersebut pemerintah mampu meredam dampak negatif ekonominya.

Resesi ekonomi yang terjadi di Indonesia akibat pandemi tersebut tidak seburuk negara-negara lainnya. Kontraksi ekonomi yang terjadi di Indonesia pada 2020, hanya sebesar -2,1 persen, jauh lebih baik dari negara-negara tersebut.

Berkaca dari keberhasilan tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa masing-masing kebijakan tidak bisa berdiri sendiri.

Kebijakan automatic stabilization harus disandingkan dengan kebijakan diskresioner supaya menghasilkan efek yang lebih besar.

Namun sejauh ini, dalam undang-undang keuangan negara Indonesia, Indonesia belum secara eksplisit menganut kombinasi kebijakan automatic stabilization dan diskrosioner sehingga kebijakan ini sebenarnya belum memiliki pijakan legal formalnya.

Oleh karena itu, langkah adopsi kombinasi kebijakan automatic stabilization dan diskresioner di dalam penyusunan APBN harus dimasukkan ke dalam perundang-undangan, khususnya undang-undang yang mengatur keuangan negara supaya posisinya menjadi kuat dan sah secara hukum.

Langkah adopsi tersebut perlu memerhatikan instrumen Manajemen Keuangan Publik, yaitu informasi, proses, dan aturan.

Ketiga komponen tersebut harus dilakukan perbaikan agar tetap relevan dalam menghadapi berbagai krisis yang berpotensi menghadang pembangunan ekonomi Indonesia.

Bahkan jika dibutuhkan, tidak ada salahnya jika pemerintah bersama DPR mempertimbangkan untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan memasukkan klausul pelepasan (escape clause) yang memberikan pengecualian terhadap penerapan aturan fiskal sekaligus memasukkan aturan penerapan kombinasi kebijakan automatic stabilization dan diskresioner.

Dengan memasukkan pasal escape clause dalam Undang-Undang Keuangan Negara, maka penggunaan kombinasi kebijakan automatic stabilization dan diskresioner akan jauh lebih efektif dan memiliki dasar hukum yang kuat.

Dalam konteks ini, maka klausul pelepasan menjadi hal yang sangat urgen untuk dimasukkan ke dalam UU APBN dan Keuangan Negara.

Tidak mudah memang, namun demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar, langkah ini perlu dilakukan dan didukung semua pihak termasuk pemerintah dan DPR.

Seperti yang kita lakukan ketika menghadapi pandemi Covid-19 di mana semua elemen bangsa, mulai dari pemerintah, DPR, TNI-Polri, Tenaga Kesehatan, dan masyarakat secara keseluruhan bahu membahu untuk bersama-sama keluar dari pandemi Covid-19 beserta efek buruk turunannya.

https://money.kompas.com/read/2023/06/12/111946226/urgensi-escape-clause-dalam-apbn

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke