Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Isu Pangan dalam Kontestasi Pilpres

Kendati krusial dan menarik perhatian, nyatanya banyak pihak, terutama aktor politik, masih gagap dalam memetakan masalah pangan di negeri ini. Acap kali persoalan pangan dikaitkan dengan swasembada. Pokoknya produksi harus maksimal, stop impor, genjot ekspor. Dialektika lama yang terus bergulir setiap kampanye pilpres.

Proklamator kita, Soekarno, dalam buku berjudul Mustikarasa secara implisit mengungkapkan harapannya atas kedaulatan pangan bangsa Indonesia. Soekarno menyatakan, pangan adalah hidup matinya bangsa. Hal ini berarti bahwa pangan perlu dipandang secara utuh, holistik, dan komprehensif.

Kompleksitas Isu Pangan

Menengok isu pangan yang diusung pada momen dua pilpres terakhir, rasanya ide-ide yang ditawarkan masih bersifat populis. Padahal, perlu gagasan konkret dan aksi strategis demi memperkuat kedaulatan pangan bangsa ini.

Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan program kerja pemerintah meresolusi isu pangan, ada baiknya kita merujuk pada indeks ketahanan pangan dunia atau Global Food Security Index (GFSI). Indeks tersebut diukur berdasarkan empat indikator, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi (quality and safety), serta keberlanjutan dan adaptasi (sustainability and adaptation).

Hasil penilaian GFSI 2022 menunjukkan, indeks ketahanan pangan Indonesia sebesar 60,2. Dengan angka itu, Indonesia berada di peringkat 69 dari 116 negara. Meski secara indeks mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan indeks sepuluh tahun terakhir, namun ternyata tak serta merta mengangkat Indonesia pada peringkat yang lebih tinggi.

Dari aspek keterjangkauan menunjukkan bahwa harga pangan di Indonesia memang relatif terjangkau dibanding negara-negara lain. Sayangnya, dari aspek ketersediaan, kualitas nutrisi, serta keberlanjutan dan adaptasi, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan rata-rata negara Asia Pasifik. Bahkan negara kita belum mampu menyamakan posisi dengan Singapura, Malaysia, dan Vietnam.

Fakta itu memuat pesan bahwa meski Indonesia dinilai berhasil membangun infrastruktur pertanian, sehingga memungkinkan penyediaan pangan dengan harga terjangkau dan stabil, namun banyak aspek ketahanan pangan yang belum menjadi fokus perbaikan.

Indonesia masih belum optimal dalam memastikan produksi pertanian terlindung dari resiko eksternal. Hal ini bukan tanpa bukti. Mitigasi kita terhadap peristiwa La Nina dan El Nino masih terlampau rendah yang pada akhirnya berdampak pada anjloknya produksi pertanian.

Intensitas gagal panen di daerah sentra produksi akibat bencana seringkali mengguncang ketersediaan pangan di sentra konsumsi, terutama daerah perkotaan. Ada pula lesson learnt atas perang Rusia-Ukraina yang tanpa diduga telah mendisrupsi pasokan pupuk kimia dalam negeri.

Selain itu, negara kita belum berhasil memperbaiki kualitas pangan dengan meningkatkan keragaman pangan dan standar gizi. Ketimpangan antara tingginya limbah pangan (food loss and waste) di saat kasus stunting semakin meluas belum menjadi buah pikiran yang perlu segera dituntaskan. Indonesia merupakan negara ketiga penghasil limbah pangan terbanyak di dunia.

Pada saat yang bersamaan Indonesia tercatat sebagai negara dengan beban anak stunting kelima di dunia. Data pangan kita juga masih karut-marut, tersebar di lintas instansi dan bersifat statistik sektoral.

Pada akhirnya ketidakmapanan data menelurkan kebijakan yang kurang strategis, misalnya pembukaan keran impor yang justru bersamaan dengan momen panen raya. Sebagai imbasnya, petani kerap meluapkan kekecewaan terhadap pemerintah dengan membuang hasil panen secara sia-sia. Pemerintah dianggap pro impor. Padahal mungkin saja akar masalah berada pada data.

Isu pangan dan pertanian pun kian kompleks jika menilik profil petani. Petani kita umumnya bergantung pada sumber pendapatan tunggal, bertani. Sekitar 11 persen dari total petani di Indonesia merupakan petani gurem yang mengelola lahan kurang dari 0,5 hektar.

Tingkat produktivitas petani kini juga tengah sempoyongan akibat kebijakan pemerintah memangkas subsidi pupuk dan benih beberapa tahun terakhir.

Problem itu belum diperberat dengan semakin menyempitnya lahan pertanian yang mengancam kemampuan produksi pangan kita. Menurut Kementerian Agraria dan Tata Ruang, setiap tahun 150.000 - 200.000 hektare lahan sawah berubah menjadi lahan nonsawah, seperti kawasan industri, bandara, pemukiman, dan lainnya.

Di sisi lain gencarnya program food estate, yang sarat kontra, masih menempuh jalan terjal untuk direalisasikan. Sebuah fenomena yang menggambarkan paradoks bagi sebuah negara agraris.

Menanti Strategi

Berbagai studi meramalkan kebutuhan pangan di Indonesia rata-rata meningkat 4,87 persen per tahun, seiring peningkatan laju populasi. Padahal kita masih berkubang dalam menyelesaikan rentetan isu pangan saat ini.

Pertanyaannya, strategi apa yang perlu disusun untuk menjawab berbagai isu pangan yang begitu kompleks? Apakah para kontestan Pilpres 2024 sudah siap menawarkan solusi konkret?

Presiden Jokowi secara berulang menekankan bahwa Pemilu 2024 harus menjadi perhelatan adu ide, bukan adu domba. Pernyataan tersebut perlu direnungkan secara lebih seksama, baik bagi para kontestan politik dan publik sebagai pemilih.

Isu pangan bersifat multidimensi dan multisektoral. Kontestasi Pilpres 2024 sebaiknya jadi ajang fundamental untuk mengukur kedalaman ide-ide strategis demi masa depan pangan Indonesia.

https://money.kompas.com/read/2023/06/12/153801126/isu-pangan-dalam-kontestasi-pilpres

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke