Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kapitalisme Finansial dan Krisis yang Berulang

Namun CS adalah salah satu GSIB yang paling kotor dan ceroboh dalam keputusan-keputusan bisnisnya beberapa waktu belakangan. Dananya banyak keluar karena harus membayar denda di mana-mana, baik karena kasus cuci uang milik para oligark dan drug dealer/smuggler, membantu upaya tax evasion untuk para nasabahnya, juga karena misalokasi kapital yang berakibat rugi besar.

Misalokasi kapital terbesar terjadi tahun 2021, saat CS menaruh modal nasabahnya ke Greensill Capital dan Archegos Capital.  Sejak dua tahun lalu, aset  CS merosot terus dari 800-an miliar dolar Amerika Serikat (AS) ke 700-an miliar dolar tahun lalu. Asetnya terus “nyemplung” lagi menjadi 500-an milair dolar, sampai akhirnya asetnya terhitung lebih rendah dari likuiditas alias insolvency (kondisi bangkrut).

CS kemudian meminta pinjaman lunak kepada bank sentral Swiss sekitar 54 miliar dolar. Ujungnya, sebagaimana yang telah kita saksikan, otoritas moneter Swiss pun akhirnya meminta kompetitor "hidup mati" CS untuk mengakuisi saham CS, yakni UBS.

Jika UBS bersedia mengambil alih (take over) CS, bank sentral akan menyediakan pinjaman lunak sekitar 100-an miliar dolar dengan jaminan kerugian sekitar 6 miliar dolar kalau akuisisi tersebut berbuah rugi. UBS tampaknya benar-benar memanfaatkan momen. Harga saham CS ditekan terus sampai ke titik terendah.

Di sisi lain, dana pinjaman dan jamiman kerugian berasal dari pembayar pajak Swiss alias dari pemerintah. Mengapa? Karena status CS adalah GSIB, sama dengan GP Morgan, BNP Paribas, ABN Ambro, dan lainya. Artinya, “to let it go, burn the world”.

Penurunan aset CS seiring dengan terjun bebas harga sahamnya sejak dua tahun terakhir, dari 16 dolar “nyungsep” sampai 2 dolar, yang membuat investornya rugi besar. Kemudian permintaan atas produk credit default swap (CDS) Credit Suisse meningkat tajam, alias nilainya bergejolak.

CDS adalah derivative product, semacam asuransi untuk produk derivatif, alias derivatifnya derivatif. Peningkatan permintaan atas CDS mengindikasikan risiko investasi di CS semakin tinggi. 

Contoh menarik adalah CDS milik AIG pada krisis keuangan 2008. AIG menjual CDS untuk memproteksi kerugian transaksi di mortgage backed securities (MBS) dan credit default obligation (CDO).

Saat krisis MBS dan CDO terjadi tahun 2008, para nasabah yang nilai asetnya berubah menjadi sampah alias rugi, menagih CDS-nya ke AIG.  Sialnya, AIG tak memiliki likuiditas yang cukup, karena dana dari penjualan CDS ternyata dibelanjakan kembali ke pasar derivatif oleh AIG. Artinya, AIG juga menyimpan MBS dan CDO di dalam bukunya. Walhasil, aset AIG juga menyusut tajam.

CS memiliki empat lini bisnis, yakni wealth management, conventional bank, investment bank, dan asset management. Pendapatan terbesarnya datang dari wealth management (servis finansial untuk orang kaya) dan conventional bank. Dalam beberapa tahun terakhir, kedua lini bisnis ini terus bermasalah, kena kasus dan misalokasi kapital milik nasabah.

Investment bank CS juga semakin sedikit mencatatkan layanan initial public offering (IPO) atau pencatatan saham perdana di pasar modal.

Jadi Pelajaran Penting

Apa pelajaran yang bisa dipetik? Pertama, pelaku pasar tidak selalu rasional, sebagaimana tesis para penganut pasar bebas. Mereka bisa mengalami misalokasi kapital,  baik karena asimetri informasi, irrational exuberance (kegembiraan atau kegairahan yang tak masuk akal), maupun karena niat buruk (misalnya mencuci uang oligark). Artinya, menyerahkan keputusan ekonomi kepada pasar sepenuhnya juga memiliki risiko, jika tak ada mekanisme kontrol yang terukur.

Namun penganut sosialisme jangan senang dulu karena tidak berarti bahwa negara dan pemerintah jauh lebih baik dalam hal alokasi kapital. Negara bahkan lebih berpeluang melakukan misalokasi kapital karena berbagai faktor, baik karena perang kepentingan, asimetri informasi atau karena kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) yang akhirnya melahirkan winner dan loser yang  justru merusak kompetisi di pasaran. 

Lihat saja di negera kita, proyek dan event acapkali rugi, lalu meminta negara untuk menutupnya via penyertaan modal negara (PMN). Perbedaanya, kalau negara melakukan misalokasi kapital, tahun depan negara mempunyai kapital lagi untuk melakukan misalokasi lainya karena pungutan pajak jalan terus. Paling pahit pemerintah mengalami vote out di pemilihan selanjutnya.

Sementara kalau pelaku pasar melakukan misalokasi, risikonya tahun depan bisa krisis likuiditas atau bisa pula langsung insolvent. 

Kedua, finansialisasi berlebihan  tak selamanya baik. Upaya mendapatkan dana segar dari aksi sekuritisasi dan re-sekuritisasi (derivatif) ada batasnya. Selama pertumbuhan bisnis riil atau fundamental bisnisnya berjalan baik, selama itu pula bisnis derivatifnya masih bisa diandalkan.

Tetapi jika bisnis dasarnya mengalami penurunan, maka jual beli dan penerbitan derivatifnya harus dibatasi. Namun kenyataannya, ketika ekonomi riil melamban, derivatif nya semakin agresif, apalagi ditambah embel-embel asuransi, investor semakin berbondong-bondong masuk.

Bubble pun tak terhindarkan (irrational exuberance). Misalnya di AS tahun 2003-2006 sinyalnya sudah terlihat. Rumah-rumah disita semakin banyak (foreclosure). Pembayaran tagihan mortgage menurun seiring dengan penurunan harga rumah.

Walhasil, saat terungkap banyak tagihan yang macet, aset-aset derivatifnya langsung masuk kategori sampah. Untuk menghindari penurunan harga aset, para pelaku memasukan kapital lebih banyak ke dalam pasar untuk menggenjot permintaan.

Tak terhindarkan, harga aset terdeviasi sangat jauh dari produk riilnya, ditambah dengan adanya sistem pengenaan bunga yang membuat bubble semakin berbahaya. Jalan satu-satunya agar tidak terjadi bubble adalah membuat bisnis riilnya berjalan mulus terus, yang notabene tidak mungkin.

Dalam skala negara, ekonomi harus tumbuh stabil terus, kalau bisa tinggi.  Seperti kata para Austrian economist, aktivitas ekonomi dan  bisnis memiliki siklusnya sendiri. Bahasa awamnya, roda berputar, kadang di atas kadang di bawah. Jadi bisnis bisa lahir, tumbuh, dewasa, matang, antiklimaks, lalu menurun, bahkan hilang. 

Kalau mayoritas pelaku pasar berada pada irama yang sama saat siklusnya menurun, saat itulah kita memasuki era resesi. Jadi, karena proses ini, krisis pada sistem kapitalisme finansial akan terus berulang dalam periode tertentu. Perbedaannya hanya terletak pada skala, magnitude, sektor, atau pemicunya.

Kendati demikian, sistem semacam ini telah membangun dunia ini seperti hari ini. Gedung-gedung megah, jalan bebas hambatan, hotel-hotel mewah, rumah-rumah mentereng, teknologi canggih, utilitas, transportasi, kartu kredit, gadget, bahkan segalanya, tak lepas dari sistem ini.

Karena itulah kenapa Pyongyang atau Kabul terasa sangat ketinggalan, dibanding Tokyo, New York, Dubai, London, Shanghai,  Jakarta, dan seterusnya.  Sistem kapitalisme finansial terus berdinamika. Sistem itu dibangun, lalu runtuh, dibangun lagi yang lebih baik, runtuh lagi, dibangun lagi yang jauh lebih baik, lalu runtuh lagi, terus bergerak seperti itu, dan ujungnya menjadi semakin baik, tapi tetap waspada untuk runtuh agar bisa membuat yang lebih baik lagi.

Ritme itu membuat kapitalisme bergerak progresif. Dengan demikian, melihat persoalan krisis secara hitam dan putih, misalnya kapitalisme lebih buruk dari sosialisme atau komunisme, tampaknya tak membantu, bahkan boleh jadi makin mengacaukan sudut pandang kita.

Karena kedua sistem sama-sama tidak stabil. Bahkan komunisme, sekali goyang bisa langsung tsunami, seperti yang dialami Soviet atau yang nyaris dialami China tahun 1989.

Namun ritme kapitalisme finansial harus benar-benar dipahami secara jelas, agar krisis akibat gelembung sektor keuangan tidak merusak ekonomi secara keseluruhan ,seperti yang terjadi di tahun 1997/1998 di Indonesia, atau tahun 2008 di AS.

https://money.kompas.com/read/2023/06/21/100657926/kapitalisme-finansial-dan-krisis-yang-berulang

Terkini Lainnya

Libur Panjang, Angkasa Pura II Proyeksikan Penumpang Capai 1 Juta Orang

Libur Panjang, Angkasa Pura II Proyeksikan Penumpang Capai 1 Juta Orang

Whats New
Percepat Peluncuran Produk untuk Perusahaan Teknologi, XpandEast Terapkan Strategi Pengurangan Time-to-Market

Percepat Peluncuran Produk untuk Perusahaan Teknologi, XpandEast Terapkan Strategi Pengurangan Time-to-Market

Whats New
Pasar Kripto Berpotensi 'Rebound', Simak Prospek Jangka Panjangnya

Pasar Kripto Berpotensi "Rebound", Simak Prospek Jangka Panjangnya

Earn Smart
Asosiasi 'Fintech Lending' Buka Suara Soal Pencabutan Izin Usaha TaniFund

Asosiasi "Fintech Lending" Buka Suara Soal Pencabutan Izin Usaha TaniFund

Whats New
Pihak Minimarket Diminta Ikut Tanggung Jawab Keamanan Parkir, Asosiasi: Kami Sudah Pasang CCTV dan Beri Peringatan

Pihak Minimarket Diminta Ikut Tanggung Jawab Keamanan Parkir, Asosiasi: Kami Sudah Pasang CCTV dan Beri Peringatan

Whats New
Pasar Kripto 'Sideways', Simak Tips 'Trading' untuk Pemula

Pasar Kripto "Sideways", Simak Tips "Trading" untuk Pemula

Earn Smart
Sederet Langkah Kemenhub Pasca Kasus Kekerasan di STIP Jakarta

Sederet Langkah Kemenhub Pasca Kasus Kekerasan di STIP Jakarta

Whats New
Harga Emas Terbaru 10 Mei 2024 di Pegadaian

Harga Emas Terbaru 10 Mei 2024 di Pegadaian

Spend Smart
Harga Emas Antam: Detail Harga Terbaru Pada Jumat 10 Mei 2024

Harga Emas Antam: Detail Harga Terbaru Pada Jumat 10 Mei 2024

Spend Smart
Gandeng BUMDes, Anak Usaha SMGR Kembangkan Program Pengelolaan Sampah

Gandeng BUMDes, Anak Usaha SMGR Kembangkan Program Pengelolaan Sampah

Whats New
Daftar 27 Bandara Baru yang Dibangun Selama Pemerintahan Presiden Jokowi

Daftar 27 Bandara Baru yang Dibangun Selama Pemerintahan Presiden Jokowi

Whats New
Harga Bahan Pokok Jumat 10 Mei 2024, Harga Ikan Kembung Naik

Harga Bahan Pokok Jumat 10 Mei 2024, Harga Ikan Kembung Naik

Whats New
Ini Program Pertagas yang Dinilai Dapat Menggerakkan Perekonomian Masyarakat Desa

Ini Program Pertagas yang Dinilai Dapat Menggerakkan Perekonomian Masyarakat Desa

Whats New
Kenaikan BI Rate Jadi 6,25 Persen Tidak Perlu Dikhawatirkan

Kenaikan BI Rate Jadi 6,25 Persen Tidak Perlu Dikhawatirkan

Whats New
6 Instrumen Keuangan yang Cocok untuk Membangun Dana Darurat

6 Instrumen Keuangan yang Cocok untuk Membangun Dana Darurat

Spend Smart
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke