Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mengukur Efektivitas Kebijakan "Burden Sharing"

Selama periode pandemi Covid-19, pemerintah bersama DPR dituntut berpikir out of the box guna menemukan kebijakan dan program yang dapat menyelesaikan masalah pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi secara komprehensif dan tuntas walaupun kebijakan tersebut dibuat di luar pakem yang sudah ada.

Bukan hanya masalah menghadapi penyebaran virusnya semata, efek turunan dari pandemi Covid-19 juga harus dapat diredam semaksimal mungkin dengan berbagai kebijakan di luar pakem tersebut.

Bahkan efek turunannya jauh lebih besar daripada efek dari penyebaran virusnya itu sendiri.

Masih segar dalam ingatan kita di mana selama masa pandemi Covid-19 Indonesia hampir saja terjerumus dalam jurang krisis multidimensi, mulai dari krisis di sektor kesehatan, pendidikan, pariwisata, sampai ke sektor ekonomi dan keuangan.

Selama masa pandemi Covid-19, aktivitas bisnis berhenti total, pengangguran meningkat tajam, kemiskinan bertambah besar, kesenjangan semakin melebar.

Namun berkat usaha bersama dengan membuat terobosan-terobosan dalam berbagai kebijakan, Indonesia mampu menghindari jurang krisis multidimensi tersebut.

Bahkan, hasilnya bisa dikatakan sangat menggembirakan. Indonesia mampu menjadi salah satu negara paling cepat dan efektif dalam menanggulangi penyebaran virus Covid-19 beserta seluruh efek turunannya.

Namun tentunya, capaian prestasi tersebut bukan tanpa cacat. Berbagai kelemahan menjadi catatan kritis yang harus ditambal supaya jika kondisi seperti pandemi kemarin terulang pada masa depan, kita bisa memberikan responds yang jauh lebih baik.

Tidak ada jaminan bahwa pada masa depan pandemi tidak akan berulang, entah dengan virus yang sama ataukah virus-virus lainnya yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Oleh karena itu, kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah bersama DPR, serta otoritas lembaga lainnya harus fleksibel dan mampu menjawab berbagai dinamika dan turbulensi yang datang menghadang.

Kita harus mampu berpikir dan menyusun kebijakan out of the box walaupun sering kali proses penyusunan dan pembuatan kebijakan tersebut tidak ada dalam ranah teori akademis dan pakem-pakem yang sudah ada.

Kebijakan kolaboratif

Salah satu kebijakan kolaboratif yang bisa dikatakan sebagai suatu terobosan dan di luar pakem teori kebijakan fiskal dan moneter saat ini adalah kebijakan Burden Sharing.

Burden Sharing adalah kebijakan kerjasama antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah untuk membiayai berbagai beban selama masa penanganan pandemi Covid-19.

Burden sharing dianggap sebagai salah satu variabel penentu keberhasilan pemerintah, DPR, dan BI dalam menghadapi pandemi Covid-19 beserta efek turunannya.

Pada awal pelaksanaannya, kebijakan Burden Sharing menjadi bahan perdebatan yang cukup panas.

Bahkan gelombang penolakan bukan hanya berasal dari lingkungan luar BI, pemerintah, dan DPR, gelombang penolakan juga terjadi di lingkungan internal baik di lingkungan BI, pemerintah, bahkan DPR.

Perdebatan dan penolakan ini terjadi di hampir semua aspek, namun yang paling besar terjadi dalam isu yang berkaitan dengan independensi BI sebagai bank sentral Indonesia.

Sebagai bank sentral yang berkewajiban menjaga stabilitas perekonomian nasional, menurut teori dan regulasi yang ada saat itu BI harus benar-benar independen, tidak dipengaruhi oleh pihak-pihak lain termasuk pemerintah, bahkan presiden sekalipun.

Kebijakan Burden Sharing yang dirancang pemerintah dan DPR seolah-olah mengikis independensi BI karena posisi BI seperti berada di bawah kendali pemerintah.

Secara sepintas, BI harus turut serta dalam program yang dibuat pemerintah sehingga terkesan BI berada di “ketiak” pemerintah dan tidak diberi ruang yang cukup untuk menentukan kebijakannya.

Namun terlepas dari perdebatan independensi tadi, kebijakan kolaboratif tadi secara efektif mampu meredam efek buruk pandemi Covid-19 dan Indonesia menjadi salah satu negara paling cepat keluar dari resesi ekonomi.

Bahkan perekonomian Indonesia sudah berangsur-angsur pulih tatkala negara lain masih berjibaku menghadang penyebaran virusnya, alih-alih mengembalikan kinerja perekonomiannya.

Ibarat peribahasa yang sudah menjadi karaktar Bangsa Indonesia, “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.

Kebijakan Burden Sharing telah memberikan energi tambahan kepada seluruh elemen bangsa untuk bergerak bersama, bergotong royong, bahu membahu keluar dari zona resesi kembali ke jalur yang jauh lebih baik.

Teori ekonomi dan keuangan adalah produk manusia yang dibuat dalam konteks waktu dan tempat ketika teori tersebut dibuat dan dikembangkan.

Teori adalah gambaran riil dari perilaku manusia pada situasi dan kondisi saat itu. Oleh karena itu, seharusnya teori berkembang secara dinamis mengikuti perubahan perilaku yang juga terus mengalami perubahan mengikuti tren waktu dan tempat.

Teori tidak boleh bersifat statis yang kaku dan tidak memberi toleransi perubahan. Teori harus bisa menjawab berbagai dinamika dan tantangan yang terus mengalami perkembangan.

Dalam konteksi ini, maka Burden Sharing menjadi kebijakan aplikatif dan realistis dalam menghadapi extraordinary condition seperti saat pandemi Covid-19 kemarin.

Kebijakan Burden Sharing dijadikan Standard Operating Procedure baru dalam UU ketika terjadi extraordinary condition yang mengancam stabilitas ekonomi dan keuangan nasional.

Peran pemerintah dan BI dalam UU P2SK digabungkan ke dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Komite ini memiliki kewenangan mulai dari menentukan indikator terjadinya krisis sampai ke langkah-langkah apa yang akan dilakukan untuk menghadapi krisis tersebut.

Di dalam UU P2SK, KSSK di bawah koordinasi menteri keuangan. Bahkan jika rapat pengambilan keputusan menghadapi jalan buntu, maka menteri keuangan sebagai koordinator komite berhak untuk melakukan veto dan mengambil keputusan atas nama KSSK.

Dengan pasal ini, maka secara tidak langsung BI seolah-olah berada di bawah menteri keuangan. Pasal ini yang sampai saat ini menjadi polemik, apakah posisi BI sudah tidak independen lagi?

Bahkan di dalam UU P2SK ada penambahan tugas BI, menjadikan BI seperti harus selalu manut kepada kebijakan fiskal yang dibuat pemerintah, yaitu BI juga harus ikut mendorong pertumbuhan ekonomi berkesinambungan, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi pengangguran di samping masih tetap harus menjaga stabilitas perekonomian nasional.

Namun terlepas dari polemik dan dinamika perdebatan publik tersebut, kebijakan Burden Sharing yang menjadi kebijakan kolaboratif antara otoritas kebijakan fiskal dengan moneter telah berhasil dengan baik membawa perekonomian Indonesia cepat pulih kembali pascapandemi Covid-19.

Tantangan ke depan

Keberhasilan kebijakan Burden Sharing dalam menghadapi pandemi Covid-19 beserta seluruh efek turunanya menjadi dasar penggunaan kebijakan tersebut pada saat krisis masa mendatang.

Kebijakan di luar pakem ini telah menjadi contoh nyata bagaimana kolaborasi dan kerja sama yang baik di antara lembaga negara akan menghasilkan kebijakan efektif dan efisien.

Namun sebagaimana telah disinggung pada awal tulisan, kebijakan yang nampak baik ini masih menyimpan celah kekosongan yang bisa menjadi lubang malapetaka bagi tata kelola sistem keuangan kita.

Untuk menambal dan menutup celah tersebut diperlukan regulasi teknis yang mengatur pelaksanaan dan implementasi teknis di lapangan dengan baik.

Untuk mewujudkan kebijakan publik yang sesuai dengan harapan, maka diperlukan tata kelola yang baik (good governance).

Setidaknya ada empat prinsip utama yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan publik dalam rangka mewujudkan tata kelola yang baik, yaitu akuntabilitas, transparansi, independensi, dan kredibilitas.

Kebijakan publik yang dibuat harus akuntabel, yaitu dapat dipertanggungjawabkan kepada publik secara luas.

Prinsip kedua adalah transparansi. Selama proses penyusunan, pemerintah, DPR, BI, OJK, dan LPS harus transparan. Tidak boleh ada informasi yang ditutup-tutupi sehingga publik mendapatkan informasi komprehensif.

Dengan informasi komprehensif, maka publik dapat ikut memonitor apakah kebijakan tersebut telah dibuat secara benar dan tidak ada kepentingan-kepentingan parsial di dalam proses pembuatan kebijakan publik tersebut.

Prinsip ketiga adalah independensi. Proses penyusunan kebijakan publik harus benar-benar terbebas dari kepentingan politik partisan yang dapat merusak tatanan perekonomian secara keseluruhan.

Penyusunan kebijakan publik harus benar-benar independen diarahkan untuk kepentingan masyarakat luas.

Prinsip yang terakhir dari penyusunan kebijakan publik adalah kredibilitas. Kebijakan yang dibuat harus benar-benar kredibel, kontekstual sesuai dengan kondisi yang dihadapi dan sesuai dengan harapan masyarakat luas.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kebijakan Burden Sharing antara pemerintah dan BI kemarin, telah memenuhi keempat prinsip tadi?

Rasanya sulit jika kita mengatakan kebijakan Burden Sharing selama masa pandemi Covid-19 telah benar-benar memenuhi keempat prinsip tata kelola yang baik.

Hal ini dapat dipahami mengingat pandemi Covid-19 datang dengan sangat cepat dan tidak mungkin memenuhi keempat prisip tata kelola yang baik dalam waktu singkat.

Namun ke depannya, seluruh kebijakan, termasuk Burden Sharing, harus benar-benar bisa memenuhi prinsip tata kelola yang baik.

Sebagai contoh, terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab ketika pemerintah bersama BI bersepakat untuk melakukan Burden Sharing.

Pertama, ketika pemerintah bersama BI memutuskan untuk saling berbagi peran melalui Burden Sharing, maka publik harus tahu indikator apa saja yang digunakan sehingga muncul kesimpulan perlunya Burden Sharing antara pemerintah dengan BI.

Publik harus tahu apakah indikator-indikator yang dibuat sudah benar sehingga menghasilkan kesimpulan yang juga benar.

Pertanyaan berikutnya adalah, berapa persen kontribusi yang optimal baik dari pemerintah maupun BI? Pembagian beban antara pemerintah dan BI harus jelas dan tidak boleh ada salah satu pihak yang dirugikan dengan menanggung beban lebih besar.

Pertanyaan ketiga yang harus dijawab oleh pemerintah dan BI adalah, berapa besar tingkat pengembalian kupon dari SBN tersebut yang ditanggung pemerintah dan harus dibayarkan kepada BI?

Jangan sampai BI membeli dengan tingkat harga yang lebih tinggi (overvalued) atau bisa pemerintah menjual dengan harga yang lebih murah (undervalued).

Semua harus transparan, akuntabel, independen, dan kredibel sehingga tidak ada celah untuk kecurangan (fraud).

Negara tidak boleh dirugikan oleh oknum-oknum yang memanfaatkan celah yang masih menganga ini.

Bahkan jika perlu, tidak ada salahnya jika pemerintah bersama BI kembali membuka catatan pelaksanaan Burden Sharing selama masa pandemi kemarin, untuk melakukan audit investigatif guna meyakinkan publik bahwa tidak ada oknum-oknum yang berusaha memancing di air keruh.

Jika hal ini bisa dilakukan, maka kita bisa kembali menyanyikan lirik lagu yang sangat fenomenal pada masanya yang dipopulerkan oleh Broery Marantika bersama Dewi Yull, “Jangan Ada Dusta di Antara Kita”.

https://money.kompas.com/read/2023/08/24/100201526/mengukur-efektivitas-kebijakan-burden-sharing

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke