Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Distrupsi Produksi Padi: Memenuhi Kebutuhan Beras Tanpa Impor

GONJANG ganjing harga beras yang terus meroket dan rencana impor beras menyebabkan banyak spekulasi situasi produksi beras kita. Apalagi kita mau impor beras dari India yang jumlah penduduknya jauh lebih banyak dari kita.

Para orang awam, bahkan pengamat melihat Indonesia adalah negeri subur dan luas. Padahal, kalau membandingkan apple to apple, maka lihatlah luas lahannya per penduduk.

India 1382 m2/kapita, Indonesia 494 m2/kapita, itupun di rata-rata termasuk sawah irigasi, sawah rawa, sawah tadah hujan dan lahan kering yang tidak semuanya subur.

Hanya sawah irigasi yang hasilnya bisa sampai dengan 6 ton/ha dengan indeks pertanaman 1,7 kali yang luasnya hanya 3,67 juta ha. Sementara lahan rawa hanya memproduksi beras setahun sekali dengan rata-rata produksi 3 ton/ha.

Secara total kita memproduksi padi 54 juta ton. Bandingkan dengan India yang memproduksi 130 juta ton padi.

Lahan yang ditanami padi di India bertambah terus dari 30 juta ha pada 1950, lalu mencapai 46 juta ha pada 2022.

Namun hal lain yang perlu kita ketahui orang India makannya tidak semata-mata beras, tapi macam-macam: terigu, jagung, sorgum, millet yang juga diproduksi sendiri.

Persoalan di atas membuat Presiden Jokowi, ketika memberikan orasi di sidang terbuka dies natalis ke -60 IPB di Kampus IPB Universiti, Dramaga, menyampaikan pentingnya inovasi besar-besaran terkait permasalahan pangan dan menjadikannya sebagai peluang.

Tidak tanggung-tanggung, Presiden memberikan tantangan untuk menjadikan peluang tersebut membuat Indonesia menjadi lumbung pangan.

Pertanyaannya adalah mungkinkah tantangan tersebut dapat dicapai? Apalagi luas lahan kita yang terbatas dan cenderung menurun dari tahun ke tahun. Belum lagi deraan El nino dan La nina yang semakin kerap terjadi.

Tantangan Pak Jokowi tersebut harus direalisasikan oleh pemerintah. Mengapa? Argumennya karena krisis pangan bisa ada di depan mata karena sekarang banyak negara yang sudah dililit krisis pangan, bahkan ada yang menjadi fail state. Contoh nyata adalah Sri Lanka.

Pada 2021 lalu, pemerintah Sri Lanka kolaps akibat krisis pangan: inflasi tidak terkendali lebih dari 50 persen dengan harga pangan meroket 80 persen dan biaya transportasi naik 128 persen.

Pemerintah Sri Lanka (Rajapaksa) menyatakan ‘state of emergency’ untuk mencegah situasi yang tidak terkendali akibat kemarahan rakyatnya.

Kalau kita mengikuti dan menguliti sejarah swasembada beras, maka tantangan tersebut pernah kita jawab dan lakukan.

Adalah Bung Karno - presiden pertama kita – pada 1952 atau lebih 60 tahun lalu, menyampaikan tantangan yang hampir serupa pada saat peletakan batu pertama Gedung Fakultas Pertanian UI – yang kemudian menjadi IPB – di Barangsiang Bogor yang petikannya sebagai berikut: “Soal persediaan makanan rakyat adalah soal hidup atau mati”.

Dan bahkan diulangi dan ditekankan lagi dengan kalimat: “Camkan, sekali lagi camkan, kalau kita tidak tanggulangi soal makanan rakyat ini secara besar-besaran, radikal dan revolusiner, maka kita akan mengalami malapetaka”.

Pidato bung Karno menginspirasi IPB untuk mengirim 12 orang mahasiswa melakukan kerja radikal dan revolusioner. Mereka turun ke desa berbekal ilmu yang didapat di bangku kuliah di gedung yang diinisiasi oleh Bung Karno, mendampingi para petani.

Inilah cikal bakal dari Gerakan Bimbangan Massal - gerakan radikal dan revolusioner, mengutip pidato Bung Karno – yang dimulai pada musim penghujan 1963/1964 untuk meyakinkan para petani agar menerapkan prinsip intensifikasi. Selanjutnya, kegiatan ini diadopsi menjadi program nasional Bimas.

Setelah politik stabil, pada akhir 1960-an, secara terstruktur pemerintah menyediakan infrastruktur pertanian. Infrastruktur pengairan dibuat baru dan direhabilitasi.

Sawah baru dicetak umumnya di luar Jawa. Pabrik pupuk diperluas. Subsidi pupuk dikenalkan. Dan tentunya Bimbingan masal (Bimas) bagi petani.

Setelah lebih dari 15 tahun, Indonesia meraih swasembada pangan pada 1985. Namun capaian tersebut hanya seumur jagung, tidak dapat dipertahankan terutama dengan adanya tekanan perubahan iklim yang menyebabkan kerapnya serangan hama penyakit, kekeringan dan banjir, serta luas baku sawah yang terus berkurang.

Namun penyebab utama adalah sistem produksi dengan inovasi teknologi yang belum ada terobosan.

Situasi di atas sangat mengganggu produksi beras Indonesia dan kebijakan yang dipakai adalah memenuhinya melalui impor. Pada saat kekeringan ekstrem pada 1995, kita harus mengimpor lebih dari 3 juta ton beras.

Selama masa krisis ekonomi 1998, kita mengimpor lebih dari 4 juta ton beras, bahkan berlanjut dengan angka yang serupa setiap tahunnya sampai 2003.

Pada 2004-2010, impor kita bahkan rata-rata kurang dari 400.000 ton beras. Tahun 2011-2021 impor beras cukup berfluktuatif dengan jumlah terbesar impor terjadi pada 2011, yaitu sebesar 2,74 juta ton lalu pada 2012 sebesar 1,8 juta ton.

Setelahnya berada pada angka di bawah 750.000 ton melonjak kembali pada 2016 yang melebihi angka 1 juta, bahkan pada 2018 mencapai 2,25 juta ton. Setelahnya di bawah 500.000 ton sampai 2022 yang lalu.

Jadi, kita pernah menjawab dan melakukan kerja nyata yang terstruktur untuk tantangan besar.

Dalam situasi saat ini, menjawab tantangan tersebut tidaklah mudah karena kita dihadapkan pada situasi membenahi benang kusut khususnya kebijakan impor pangan dan sistem produksi yang kedaluwarsa tanpa terobosan dan kapasitas produksi beras kita yang terbatas.

Kapasitas produksi padi

Studi yang dilakukan oleh Mulyani dkk (2022) dengan menggunakan data luas panen dan produktivitas dari Badan Pusat Statistik tahun 2020 (BPS 2021) dan luas baku dan jenis sawah dari BPN (2019) menunjukkan bahwa produksi beras nasional pada 2045 diprediksi sebesar 38,5 juta ton.

Dengan tingkat konsumsi 90 kg per kapita, jumlah ini sangat jauh dari cukup.

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah sekitar 276 juta jiwa dan diproyeksikan akan mencapai 319 juta jiwa pada 2045 dengan pertumbuhan sebesar 1,17 persen per tahun.

Jika alih fungsi lahan sawah tetap sebesar 90.000 ha/tahun, menjelang tahun 2045, maka kapasitas produksi padi dari lahan sawah akan mengalami penurunan sebesar 16,6 juta ton GKG dari angka produksi tahun 2022.

Kita memerlukan tambahan sekitar 17,74 juta ton untuk mencukupi perut penduduk. Pilihan paling mudah adalah impor.

Namun perlu diingat bahwa kebijakan impor menjadi sebab kita akhirnya tergantung secara permanen untuk bahan baku (kedelai) tempe dan tahu. Impor juga jadi sebab kita tergantung kepada gula.

Impor adalah cara paling mudah, tetapi menggerus kapasitas dan kemampuan kita memproduksi sendiri.

Namun yang lepas dari perhatian kita adalah produkvitas padi kita sejak 10 tahun lalu susah bergerak naik.

Hal ini juga berimbas kepada produksi beras selama 1 dekade (antara 2010-2018) yang sudah melandai. Sinyal ini memberikan indikasi bahwa melemahnya produksi pada dekade tersebut masih dapat mengandalkan pendekatan saat ini.

Hal ini juga merupakan indikasi bahwa sistem produksi sudah harus dilakukan terobosan karena pendekatan yang ada nampaknya sudah tidak mampu lagi menahan deraan alih fungsi lahan.

Kondisi ini diperkirakan semakin parah pada 2045, jika tidak ada implementasi inovasi yang mampu menyelesaikan masalah peningkatan produksi padi nasional secara cepat dan masif dari hulu ke hilir.

Apa pemicu dan penyebab produksi kita mandek? Bisa jadi hal ini dipicu tergerusnya pendapatan petani karena ongkos produksi yang tinggi sehinggga semakin men-decline modal petani untuk berproduksi.

Angka-angka NTP juga memperlihatkan hal tersebut. Dampak selanjutnya adalah seperti lingkaran setan yang terus menggerus modal petani untuk berproduksi sehingga menurunkan luas panen dan melandainya provitas.

Impor pangan yang terus menggila bisa jadi dipicu juga oleh sistem produksi yang tidak efisien. Impor pangan juga didorong oleh harga pangan domestik yang lebih tinggi dibandingkan harga internasional.

Faktanya harga beras Indonesia saat ini 37 persen lebih tinggi dari harga dunia. Faktor determinannya adalah teknologi sistem produksi yang tidak efisiensi, kedaluwarsa dan terdisrupsi baik upstream maupun down stream.

Harus ada terobosan inovasi. Dalam bahasa pak Jokowi yang disampaikan di IPB beberapa waktu lalu, ”belum bisa dibilang inovasi jika kita belum rada-rada gila”. Disruptif Technology sistem produksi pertanian adalah jawabannya.

Teknologi disrupsi produksi padi

Istilah "disruptif technology" pertama kali dikenalkan oleh James Christensen dan Joseph Bower dalam artikel di Harvard Business Review pada 1995, dengan judul “Disruptive Technologies: Catching the Wave”.

Teknologi disrupsi produksi padi adalah teknologi yang mengangkat produksi secara drastis yang dapat mengguncang sektor pertanian.

Teknologi Disrupsi produksi padi dapat juga diartikan sebagai tindakan (action) yang dapat menekan ongkos produksi, baik di hulu, onfarm dan hilir, secara lebih cepat dan masif, sehingga meningkatkan efisiensi teknis, alokasi, dan ekonomi produksi pertanian secara berkelanjutan (Marwanti dkk, 2023: Bookie and Duncombe, 2019; Curry et al., 2021).

Disrupsi teknologi dilakukan di hulu (up stream) maupun di hilir (down stream).

Disrupsi teknologi di upstream meliputi jenis dan sistem produksi pupuk dan pestisida, on farm berupa olah tanah, tanam, penyiangan, penyemprotan, pemupukan. Sementara di hilir panen dan pengolahan hasil.

Goal akhir dari penerapan teknologi disrupsi pertanian haruslah dapat menjaga produksi padi sehingga beras cukup bagi masyarakat, menyejahterakan petani dan menyediakan beras dengan harga yang layak bagi masyarakat Indonesia.

Target yang harus dicapai dalam penerapan teknologi disrupsi dapat menurunkan biaya produksi padi 20 persen dari biaya produksi negara kompetitor.

Argumennya angka ini stabil terhadap guncangan valas, inflasi, maupun bencana. Angka ini merupakan angka yang pasti menjaga/menjamin kepastian untuk melawan impor.

Disrupsi sistem produksi beras nasional merupakan suatu keniscayaan agar Indonesia bisa keluar dari perangkap pangan termasuk padi (rice trap).

Untuk mendiskripsikan disrupsi produksi padi, maka ilustrasi berikut dapat digunakan.

Memicu dan memacu disrupsi produksi

Insentif teknologi disrupsi produksi dan pengolahan hasil adalah menurunkan biaya produksi padi. Biaya terbesar dalam produksi padi adalah tenaga kerja.

Ongkos tenaga kerja mencapai hampir 50 persen dari biaya-biaya yang dikeluarkan. Ditambah biaya pupuk dan pestisida yang 16-20 persen, maka komponen biaya tenaga kerja dan sarana produksi dapat mencapai 70 persen.

Karena itu, teknologi disrupsi produksi padi dapat difokuskan kepada dua hal tersebut. Misalnya, produksi bahan organik masif, murah in situ memanfaatkan daur ulang sampah terseleksi.

Pilihan ini untuk menekan biaya produksi pupuk yang semakin mahal bahan bakunya serta sensitif terhadap gejolak moneter dan dinamika geopolitik regional dan internasional.

Produksi bahan organik in situ memungkinkan tanah semakin subur dan tidak memerlukan pengolahan tanah penuh, melainkan cukup pengolahan tanah minimum (minimum tillage) atau bahkan tanpa olah tanah (zero tillage).

Peningkatan kesuburan tanah melalui aplikasi bahan organik akan menekan penggunaan pupuk anorganik (Siwanto and Melati, 2015).

Penanaman padi dilakukan melalui tabur (direct seeded) dengan drone seperti di negara negara maju seperti Amerika Serikat, maka biaya tanam juga tereduksi secara signifikan.

Pendekatan tanam tebar akan memerlukan volume benih tiga kali lipat dibandingkan kebutuhan normal.

Namun demikian, populasi padi akan meningkat minimal 200 persen, sehingga produksi per hektar ditargetkan minimal 8-10 ton GKG/hektar.

Penyemprotan hama penyakit juga dapat dilakukan dengan drone, bahkan penaburan maupun penyemprotan pupuk dapat dilakukan dengan drone.

India sudah memproduksi urea nano yang diklaim bahwa 5 ml setara dengan 1 kantong pupuk urea granul 50 Kg. Urea nano ini diproduksi oleh Indian Farmers Fertiliser Cooperative Limited (IFFCO) dan telah dicoba pada 11.000 lokasi pada 94 komoditas pertanian. Bahkan diklaim lolos tes bio-efficacy- biosafety- toxicity and environment suitability (Kumar, 2020)

Pemerintah perlu memberi insentif untuk investasi pengolahan sampah kota, pengembangan pupuk berteknologi nano dan pengembangan drone agar sistem produksi padi dapat didisrupsi secara utuh.

Penyewaan drone untuk kegiatan penanaman, penyemprotan pestisida, pemupukan harus didorong untuk kawasan-kawasan tiap desa pada sentra-sentra produksi.

Monitoring plant health dapat dikembangkan oleh Kementan dengan penggunaan Satelit dikombinasi dengan AI.

Data setiap bulan yang dikirimkan oleh BPTPH Provinsi dari monitoring secara fisik oleh pengamat hama hanya sebagai validasi saja.

Selanjutnya, insentif pengadaan unit penggilingan padi modern yang mampu menghasilkan by product seperti hush dan oil bran yang harganya sangat mahal. Jika by product dapat dimaksimalkan, maka harga beras akan menjadi lebih murah.

Kredit bagi penyediaan teknologi sistem produksi yang disruptif mulai produksi pupuk, pengolahan tanah, tanam, penyiangan, pemupukan, panen dan pengolahan hasil harus menjadi prioritas utama, seperti halnya pemerintah mengucurkan kredit usaha rakyat (KUR).

Pertanian padi swasta

Disrupsi sektor pertanian harus digerakkan swasta agar beban biaya pemerintah dapat diminimalkan. Indonesia punya pelajaran yang baik dalam pengembangan kelapa sawit.

Melalui insentif kredit dan fasilitasi pemerintah, pengembangan kebun padi dapat mengadopsi dengan berbagai penyesuaian mengikuti pengembangan kebun sawit.

Modernisasi industri pengolahan sawit swasta terjadi karena insentif dan ekosistem bisnis yang diciptakan pemerintah kondusif, sehingga Indonesia menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Keberhasilan PT. Topi Koki dalam mengelola lahan rawa pasang surut dan lebak di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Ogan Ilir dengan luasan lebih dari 1.000 hektar per lokasi membuktikan bahwa konsolodasi lahan dan kebun padi swasta menguntungkan (Susmana, 2016).

Usaha tani padi eksisting dengan biaya efisien, penerapan teknologi yang cepat dan masif, dibarengi dengan pemberdayaan petani setempat mampu menghasilkan keuntungan perusahan yang kemudian dapat digunakan untuk memperluas areal kebun padi.

Selain infrastruktur pengelolaan air, PT. Topi Koki juga melengkapi infrastruktur pengolahan hasil pertanian dan pemasaran, baik retail maupun partai besar.

Pemerintah perlu menumbuhkan ekosistem bisnis untuk mendorong terbentuknya kebun padi swasta lain dengan menyederhanakan proses perizinan lahan, regulasi pembangunan infrastruktur irigasi, dan insentif pajak termasuk importasi barang modal mendukung kegiatan disrupsi pertanian diperlakukan secara khusus.

Keberhasilan pengembangan kebun padi swasta dapat menjadi industri pertanian baru yang mampu menciptakan kesempatan berusaha dan lapangan kerja baru, peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, dan mitigasi kemiskinan secara berkelanjutan.

Peningkatan nilai ekonomi usaha padi menjadi insentif bagi peningkatan produksi padi nasional. Produksi akan meningkat apabila ada investasi (pinjaman, kerja sama, modal pribadi).

Jika tidak ada investasi, maka pembiayaan pertanian akan menggunakan modal sisa yang cenderung tergerus oleh inflasi maupun oleh ketidakekonomian usahanya.

Ini merupakan salah satu jalan menekan alih fungsi lahan pertanian kita sebagai komplementari regulasi UU 41/2009 dan PP atau perpres turunannya yang bagaikan macan kertas.

Disrupsi kebijakan

Selain kebijakan berupa insentif bagi pengusaha dan menciptakan ekosistem bisnis padi, ada beberapa kebijakan yang perlu dibenahi.

Pertama, harus ada kebijakan bahwa kekurangan produksi diatasi melalui cara selain impor. Pasalnya, impor tidak hanya mendestruksi harga pasar domestik, tetapi akan melemahkan sistem produksi nasional, yang selanjutnya kita akan secara permanen tergantung pada impor.

Contohnya banyak: kedelai sudah 98 persen impor, gula juga demikian. Padahal sebelumnya kita pernah jadi penguasa gula dunia.

Kedua, kebijakan yang mengubah orientasi produksi kepada efisiensi ekonomi dari peningkatan semata-mata hanya provitas.

Ketiga, kebijakan UMR dan HPP yang populis tapi berbiaya murah bagi pemerintah karena beban dibagi lebih besar ke pengusaha dan masyarakat, tidak dilakukan setiap saat atau setiap tahun, tetapi harus disesuaikan agar tidak melemahkan daya beli petani dan harga beras kita dapat kompetitif.

Kebijakan UMR yang naik setiap tahun dan HPP yang disesuaikan setiap saat, cepat dan pasti ongkos produksi beras kita akan terkerek naik dan harga beras makin mahal dan tidak kompetitif dengan beras luar negeri. Dalam jangka panjang dapat mendistorsi harga beras dalam negeri.

Pemerintah harus mampu menciptakan lapangan kerja produktif, sehingga upah yang diterima bukan hanya membayar kerja fisik, tetapi memperhitungkan kerja ketrampilan dan intelektual.

Secara simultan, kerja sektor pertanian juga harus mampu mendisrupsi teknologi eksisting agar lebih produktif, cepat, murah dan masif.

Keempat, harus diimplementasikan teknologi disrupsi produksi mulai dari upstream- on farm-down stream.

Selain hal-hal di atas, pemerintah harus mempunyai kapasitas untuk memprediksi produksi beras secara komprehensif yang secara rutin dilakukan (4-5 tahunan) dengan peubah dari upstream, onfarm serta hilir untuk menyusun skenario disrupsi teknologi.

*Muhrizal Sarwani dan Gatot Irianto, Analis Kebijakan Utama Kementan
Adi, Peneliti BRIN
Marwanti, Sub Koordinator Dit Serealia

https://money.kompas.com/read/2023/09/30/092639926/distrupsi-produksi-padi-memenuhi-kebutuhan-beras-tanpa-impor

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke