Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Dagang Karbon dan Nasib Mitigasi Perubahan Iklim

Pada 26 September di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Presiden Joko Widodo meresmikan rilis Bursa Karbon Indonesia. Menurut Presiden Joko Widodo, hasil dagang karbon akan direinvestasi ke upaya-upaya merawat lingkungan hidup, khususnya pengurangan emisi karbon.

Pada 4 Juli 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim. Sasaran Perpres ini ialah koordinasi kendali perubahan iklim akibat lonjakan gas rumah kaca (greenhouse gases/GHG) khususnya di Indonesia yang meliputi lebih dari 17.000 pulau dan wilayah perairan serta secara geografis rentan terhadap perubahan iklim.

Perdagangan karbon adalah kegiatan jual-beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim. Begitu bunyi Pasal 1 ayat 6 Perpres No. 46/2008. Mitigasi perubahan iklim adalah usaha-cegah perubahan iklim dengan menurunkan emisi GHG atau meningkatkan penyerapan GHG dari berbagai sumber emisi GHG.

Setahun setelah rilis Perpres No.46/2008 itu, Tamra Gilbertson dan Oscar Reyes -peneliti pada Carbon Trade Watch/Transnational Institute (TNI)- merilis hasil riset setebal 104 halaman dengan judul: “Carbon Trading : How it works and why it fails” (2009). Buku ini mengutip Fourth Assessment Report (2007) dari 2.500 ahli Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan mengisyaratkan kegagalan dagang-karbon.

Ahli-ahli IPCC menyebut bahwa jika tren perubahan iklim atau pemanasan global awal abad 21 tanpa kendali, risikonya ialah lonjakan panas Bumi sekitar 6 derajat Celsius dan kenaikan permukaan laut global sekitar 60 cm tahun 2100.

Apakah dagang-karbon efektif kendali risiko perubahan iklim akhir-akhir ini hingga tahun 2100? Dagang karbon atau bursa karbon adalah suatu instrumen atau sarana mekanisme pasar dengan skema dagang emisi karbon (emission trading scheme/ETS) yang nyaris tidak memengaruhi langsung ke tata-kelola lahan (tanah) sebagai pusat vegetasi, pohon-pohon, atau air di Bumi.

Bursan karbon atau ETS menjadikan karbon dioksida (CO2) dan gas rumah-kaca (GHG) adalah komoditas dagang. Harganya ditentukan oleh pasokan dan permintaan pasar; asumsinya, permintaan bahan bakar fosil sebagai pendorong utama perubahan iklim, bakal berkurang (Olivier, et al., 2020); sebaliknya, tata-kelola ekonomi emisi karbon-rendah memiliki daya-saing pasar melalui aliran investasi ke sumber energi yang rendah atau zero karbon, misalnya tenaga surya, angin, air, dan biomassa.

Dagang (bursa) karbon bekerja melalui penetapan batas total kuantitatif emisi GHG atau CO2 dari semua peserta-penghasil emisi. Akibatnya, harga karbon sesuai dengan target ini. Penghasil emisi lebih banyak dari kuotanya, harus membeli hak emisi dari penjual yang menghasilkan emisi lebih kurang dari kuotanya. Mekanisme pasar ini sekarang terjadi di Uni Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara lain (ICAP, 2021).

Pasar Karbon

Penghasil GHG atau gas rumah kaca selama ini tidak menanggung biaya ekonomi akibat emisi GHG-nya (Halsnæs et al., 2007). Jenis risiko ini hanya disebut ‘biaya eksternal’ (Toth, et al., 2005) yang justru sangat berdampak terhadap sehat-lestari pihak lain atau lingkungan hayat suatu negara, khususnya perubahan iklim (Goldemberg, et al., 1996:29).

Misalnya, atmosfer adalah barang umum-global; maka GHG adalah komponen ‘eksternal-global’ dan berkenaan dengan hak-properti atmosfer.

Emisi dari semua penghasil GHG menghasilkan seluruh stok GHG di atmosfer planet Bumi. Melalui dagang karbon ‘cap-and-trade’ di ETS Uni Eropa, misalnya, batas akses ke suatu sumber daya (cap) ditetapkan dan dialokasi ke antara pengguna melalui izin-izin. Unsur kepatuhan ditentukan melalui perbandingan emisi aktual dengan izinnya. Risiko lingkungan dari dagang karbon bergantung pada penetapan batasan emisinya.

GHG diregulasi, misalnya, satu izin emisi kira-kira setara dengan satu ton emisi CO2. Izin-izin emisi lainnya ialah kredit karbon, unit Kyoto, dan unit Certified Emission Reduction (CER). Izin-izin ini dijual-beli secara partikelir atau pasar global sesuai harga pasar, bahkan izin dapat dialihkan antar-negara. Tiap alih-izin emisi antar-negara mesti divalidasi oleh UNFCCC. Sedangkan alih-kepemilikan izin di zona Uni Eropa, divalidasi oleh Komisi Eropa. Ini adalah mekanisme pasar dagang-karbon, khususnya dagang karbon di Uni Eropa.

Mekanisme pasar karbon adalah unsur pokok arsitektur lembaga keuangan dan program pemerintah dalam rangka mitigasi perubahan iklim. Nicholas Stern et al. (2006:viii) menyebut bahwa dagang karbon adalah upaya koreksi terhadap kegagalan pasar selama ini. Perubahan iklim pun dilabel sebagai ‘kegagalan pasar’ yakni gagal menetapkan harga karbon atau seakan-akan tanpa nilai dalam tiap keputusan ekonomi dan keuangan.

Bank Dunia (2005) juga menyebut bahwa GHG adalah barang uniform di atmosfer; sehingga GHG dapat dikurangi di tiap sudut planet Bumi dengan efek sama. Perubahan iklim adalah isu global, bukan lokal. Maka bukanlah soal, jika penurunan emisi terjadi di Brussel (Belgia) atau Beijing (Tiongkok). Komodotas itu ekuivalen dan harga dapat dihitung, sehingga dapat dijual-beli kapan saja dan di mana saja di berbagai negara.

Kini dagang emisi (Emission Trading System/EU-ETS) Uni Eropa menyediakan fasilitas atau izin dagang karbon antar-negara sesuai Kyoto Protocol (1997) yang mulai berlaku sejak 16 Februari 2005. Pasal 2 Kyoto Protocol melibatkan 192 anggota dalam kerangka UNFCCC guna mengurangi konsentrasi GHG di atmosfer hingga level cegah perubahan iklim.

Sektor GHG ialah karbon dioksida (CO2), metane (CH4), hidrofluoro-karbon (HFCs), perfluoro-karbon (PFCs), sulfur heksafloride (SF6), dan nitrogen trifluoride (NF3). Pemerintah tiap negara menetapkan emisi nasional sesuai skema Kyoto Protocol dengan mengalokasi izin ke tiap perusahan sesuai kriteria-tetap.

Mitigasi Perubahan Iklim

Dagang karbon Uni Eropa (EU ETS) melalui mekanisme ‘cap and trade’ sejak tahun 2005, mencakup 45 persen emisi GHG di zona Uni Eropa. Periode dagang berlangsung 2005-2007 dan tahun 2008-2012 sesuai Kyoto Protocol. Tahap ke-3 tahun 2013-2020 dengan perkiraan mengurangi 21 persen GHG.

Target ini konon tercapai misalnya emisi melalui ETS turun 1,812 miliar ton tahun 2014 di Uni Eropa. ETS Uni Eropa dibayangkan sebagai panduan industri dan investor untuk transisi dari bahan bakar fosil (Twidale et al., 2023).

Antoine Dechezleprêtre et al. (2023) menyebut bahwa dagang karbon Uni Eropa menurunkan emisi karbon sekitar 10 persen tahun 2005-2012 tanpa dampak terhadap keuntungan dan lapangan kerja bagi peserta dagang karbon. Kini harga tunjangan EU ETS melampaui 100 euro per ton CO2 (atau sekitar 118 dollar AS) pada Februari 2023 (Susanne Twidale et al., 2023)

Namun, kini suatu bukti tidak terbantahkan tentang perubahan iklim di Uni Eropa. Kate Abnett dari Reuters menulis tentang tren pemanasan global di Eropa hingga Mei 2023 yakni 22 persen zona Eropa dilanda panas-kering, sungai dan danau kering, petani mengalami becana terburuk selama 500 tahun terakhir, khususnya di Spanyol dan Prancis. Panas melampaui 1,5 derajat Celsius dari level 150 tahun silam di Eropa.

Kini banyak negara mengadopsi dagang karbon Uni Eropa, khususnya instrumen pasar menurunkan emisi CO2 dengan biaya murah. Target sejak 2005 ialah pengurangan emisi GHG sebesar 8 persen tahun 2012 sesuai Kyoto Protocol (Directive 2003/87/EC).

Dagang karbon Uni Eropa adalah kebijakan mitigasi perubahan iklim berbasis mekanisme pasar. Model ini diikuti oleh bursa (dagang) karbon Regional Greenhouse Gas Initiative di Amerika Serikat dan Pilot Carbon Trading Markets di Tiongkok (Green et al. 2017; Newell et al., 2014:1316-1317).

Apakah dagang karbon efektif mitigasi perubahan iklim? Banyak riset menemukan dan menyimpulkan, bahwa insentif pasar guna mengurangi emisi harus dikaji secara tepat, benar, dan jujur. Sebab pasar karbon telah berkembang di seluruh dunia, seperti Korea Selatan, Jepang, Selandia Baru, Australia, Kanada, Inggris, dan India.

Model pasar karbon Uni Eropa (EU ETS) adalah isu populer bagi literatur dan riset pasar karbon sejak tahun 2006-2023. Sebab bursa atau dagang karbon Uni Eropa adalah tertua dan terbesar saat ini di dunia.

EU ETS melibatkan 11.000 instalasi dari sektor industri seluruh Uni Eropa dan non-Uni Eropa, misalnya Islandia, Norwegia, dan Liechtenstein.

Bursa karbon Uni Eropa menerapkan ‘cap-and-trade’ yakni batas kuantitas emisi karbon guna mendapat izin, misalnya European Union Allowances (EUAs), bagi perusahan peserta program. Dua izin lain ialah Unit Pengurangan Emisi (Emission Reduction Units/ERU) dan Pengurangan Emisi Bersertifikat (Certified Emission Reductions/CER).

Hasilnya, bursa dagang karbon Uni Eropa lebih fokus pada efisiensi pasar, alokasi tunjangan, mekanisme harga, friksi dagang, dan cadangan stabilitas pasar (Perino, et al., 2016).

Sebagai satu mekanisme pasar, EU ETS memengaruhi pasar saham, pasar energi, industri intensif energi khususnya listrik, metalurgi, dan industri-industri transportasi. Apakah dinamika pasar ini dapat menurunkan emisi karbon atau cegah perubahan iklim? Tentu saja tidak.

Kajian Gilbertson et al. (2008) sejauh ini, terbukti benar. Misalnya, melalui Kyoto Protocol tahun 1997, sebanyak 38 negara industri hendak menurunkan level emisi GHG tahun 2012 sebesar 5,2 persen lebih rendah dari level emisi GHG tahun 1990. Rencana ini akhirnya gagal.

Di sisi lain, skema-skema dagang karbon biasanya tidak harmoni dengan penetapan anggaran karbon yang dibutuhkan guna meredam lonjakan panas bumi, menurut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC, 2021), ialah level kenaikan 1,5 derajat Celsius atau 2 derajat Celsius sejak Revolusi Industri abad 19 di Eropa, sesuai perjanjian internasional Kesepakatan Paris tahun 2015.

Lazimnya skema-skema dagang karbon (ETS), misalnya ETS di Uni Eropa, hanya fokus pada penghasil emisi skala besar dari sektor industri dan pembangkit listrik; sedangkan sektor transportasi dan konsumsi swasta bergantung pada kebijakan negara anggota Uni Eropa. Metana (CH4) atau dinitrogen oksida (N2O) tidak termasuk skema dagang karbon. Skema dagang karbon juga tidak berdampak pada pengurangan bahan konsumsi bahan bakar fosil. Sehingga skema-skema dagang karbon belum efektif menghasilkan mitigasi perubahan iklim selama ini, khususnya di zona-zona Eropa.

https://money.kompas.com/read/2023/10/05/112621326/dagang-karbon-dan-nasib-mitigasi-perubahan-iklim

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke