Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Memaknai Hilirisasi Digital

Blueprint berisi 5 (lima) Visi Sistem Pembayaran Indonesia 2025 yang dilaksanakan oleh 5 (lima) working group, yaitu Open Banking, Sistem Pembayaran Ritel, Sistem Pembayaran Nilai Besar dan Infrastruktur Pasar Keuangan, Data dan Digitalisasi, dan Reformasi Regulasi, Perizinan, dan Pengawasan.

BSPI 2025 akan diwujudkan melalui 23 key deliverables yang akan diimplementasikan secara bertahap dalam kurun waktu tahun 2019 sampai 2025.

Indonesia salah satu negara yang mempunyai cita-cita menjadi negara maju. Salah satu indikatornya adalah bagaimana mengejar pertumbuhan ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatan mencapai 32.000 dollar AS per kapita.

Tahun 2045 adalah tahun yang ditargetkan menjadi Indonesia Emas untuk meraih predikat sebagai negara maju.

Momentum itu harus dimanfaatkan untuk dapat meraih cita-cita yang membanggakan untuk Indonesia.

Indonesia termasuk negara yang dihargai oleh banyak negara di dunia karena kehebatannya dalam menjaga stabilitas ekonomi selama dihantam pandemi covid-19 dan juga gangguan geopolitik yang masih berlangsung sampai saat ini.

Kita harus bangga dengan Indonesia. Dilansir oleh Katadata, kita masuk dalam peringkat 16 negara yang pada 2023, nilai PDB Indonesia diproyeksikan bisa mencapai 1,4 triliun dollar AS. Angka itu setara dengan 1,4 persen dari total PDB global.

Ketika kita berbicara hilirisasi digital, yang ada dibenak kita adalah fenomena deindustrialisasi global. Dalam proses pembangunan ekonomi, porsi manufaktur dalam keseluruhan lapangan kerja semula meningkat dan kemudian menurun setelah pendapatan perkapita melampaui batas tertentu.

Negara-negara maju semuanya berada di luar ambang batas tersebut, dengan demikian mengalami penurunan sekuler dalam sektor manufaktur.

Baumol menjelaskan proses deindustrialisasi ini disebabkan pertumbuhan produktivitas manufaktur yang lebih cepat dibandingkan jasa.

Baru-baru ini, perdagangan dengan negara-negara berkembang, terutama dengan Tiongkok, sering diidentifikasikan sebagai faktor utama deindustrilisasi di negara-negara maju.

Menguraikan saluran perdagangan dari saluran produktivitas tradisional merupakan tugas yang rumit. Kita perlu mengembangkan model sederhana dengan perubahan struktural dalam perekonomian terbuka untuk mendapatkan implikasi empiris.

Model tersebut harus didasarkan pada perdagangan antara negara maju dan negara berkembang.

Dalam kerangka perekonomian tertutup, pertumbuhan produktivitas yang lebih cepat adalah di bidang manufaktur. Di sini dapat menyebabkan penurunan jumlah keseluruhan lapangan kerja, namun tidak pada total nilai tambah.

Sebaliknya, dalam perekonomian terbuka, yang paling penting bukan hanya pertumbuhan produktivitas secara relatif terhadap manufaktur dalam negeri versus luar negeri.

Namun ketika pertumbuhan produktivitas manufaktur dalam negeri lebih cepat dibandingkan pertumbuhan jasa, namun lebih lambat dibandingkan manufaktur luar negeri, maka pangsa manufaktur di negara-negara maju, mungkin akan mengalami penurunan, baik dalam hal nilai tambah maupun lapangan kerja.

Di sini kami menyebut fenomena ini sebagai “deindustrialisasi kembar”, yaitu memanfaatkan perbandingan antara perkiraan lapangan kerja dan pangsa nilai tambah untuk mengidentifikasi relevansi saluran perdagangan dibandingkan dengan saluran produktivitas murni.

Baru di sinilah tentunya akan menemukan dampak perdagangan yang signifikan dan relevan secara kuantitatif terhadap perubahan struktural di negara maju.

Kekuatan dampak perdagangan bergantung pada sifat “Kemajuan Teknologi” yang terjadi di negara-negara berkembang.

Tantangan hilirisasi digital menjadi pendorong untuk menaikkan pendapatan per kapita masyarakat Indonesia.

Digaungkannya hilirisasi digital, walaupun sebetulnya seperti pisau bermata dua, tentu ini menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia.

Semua menyadarinya, otomatisasi dan digitalisasi meningkatkan produktivitas dan standar hidup, namun cenderung menimbulkan efek samping sosial yang negatif.

Hilirisasi digital dapat menciptakan “pecundang” dari transformasi dan efek samping negatif terhadap lingkungan dengan meningkatnya emisi akibat meningkatnya kebutuhan listrik.

Untuk mengatasi masalah ini dan mendorong transformasi digital yang berkelanjutan, kita harus mempunyai respons kebijakan yang menghubungkan dua dampak samping negatifnya, yaitu peningkatan kesenjangan dan emisi yang lebih tinggi.

Eksternalitas lingkungan hidup akibat transisi ke otomatisasi dan digitalisasi dapat diinternalisasi melalui pajak emisi yang lebih tinggi.

Hasil pajak ini dapat didistribusikan kembali untuk memberikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan akibat transisi tersebut.

Penerapan skema tersebut juga akan membantu mengurangi resistensi terhadap teknologi baru, meningkatkan keterampilan masyarakat, dan mendorong transisi menuju produksi listrik yang lebih ramah lingkungan.

Semua dampak ini sejalan dengan tujuan memastikan transformasi digital yang berkelanjutan. Di samping itu dengan hilirisasi digital, akan menciptakan anak-anak muda semakin inovatif dan kreatif.

Misalnya, ada yang ahli artificial intelligence, ahli block chain, dan ahli robotik, serta ahli perbankan baik konvensional maupun syariah. Tentu semua dengan berbagai tantangan yang ada sesuai dengan kemajuan teknologi yang berkembang.

https://money.kompas.com/read/2024/01/30/082858326/memaknai-hilirisasi-digital

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke