KOMPAS.com - Meski belum resmi terpilih menjadi pemenangan Pilpres 2024, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto sudah ancang-ancang program yang akan dijalankannya seandainya dipastikan memimpin Indonesia nanti.
Prabowo akan mencanangkan Indonesia terbebas dari ketergantungan impor BBM dari luar negeri. Caranya dengan memanfaatkan potensi minyak nabati yang tumbuh subur di Tanah Air.
Menurut mantan Pangkostrad ini, banyak komoditas perkebunan yang bisa diolah menjadi minyak nabati pengganti bahan bakar fosil. Misalnya saja singkong yang bisa diubah jadi bensin, lalu minyak sawit yang diolah menjadi solar (diesel).
“Kita nanti green energy dan kita akan swasembada energi bensin, dari mana? Dari etanol, etanol dari mana? Dari tebu dan singkong,” beber Prabowo dikutip dari Antara, Jumat (1/3/2024).
“Kita sudah bisa bikin B100, artinya biodiesel dari kelapa sawit 100 persen. Bisa kita bayangkan nggak? Kita tidak akan impor lagi solar dari luar negeri (impor BBM), karena kita punya produksi kelapa sawit sekarang 48 juta ton,” katanya lagi.
Apa itu etanol?
Sebagai informasi saja, etanol sendiri dikenal sebagai senyawa alkohol yang diproses dari bahan baku nabati menjadi bahan bakar, biasanya diperoleh melalui proses fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme.
Sejatinya, sudah banyak negara termasuk Indonesia, yang menggunakan etanol sebagai subtitusi BBM (bioetanol). Hanya saja, etanol biasanya masih dicampurkan dengan bensin dari bahan bakar fosil.
Mengutip laman Pertamina, bahan bakar etanol digunakan sebagai alternatif yang dianggap lebih ramah terhadap lingkungan, karena bahan bakar etanol menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
Etanol juga dapat membantu minimalisir ketergantungan terhadap sumber energi fosil yang sangat terbatas.
Sejarah penggunaan etanol untuk kendaraan
Etanol pertama kali digunakan secara massal sebagai bahan bakar lampu minyak pada abad ke-19. Pada masa ini, etanol dihasilkan dari hasil fermentasi bahan tanaman seperti tebu dan jagung.
Banyak penelitian dilakukan di banyak negara agar etanol bisa digunakan sebagai pengganti bensin dari fosil. Misalnya pada tahun 1860, Nicolas-Joseph Cugnot, seorang insinyur Prancis, mengembangkan mobil uap yang dapat berjalan dengan bahan bakar etanol.
Lalu pada tahun 1908, produsen mobil, Ford, juga sempat mengembangkan kendaraan berbahan bakar etanol. Meski demikian, perkembangan etanol sebagai pengganti bensin fosil seolah jalan di tempat.
Baru pada tahun 1970-an, saat krisis minyak global akibat perang Arab-Israel, kemudian memicu pengembangan bahan bakar alternatif seperti etanol. Pemerintah Amerika Serikat memberikan insentif untuk meningkatkan penggunaan etanol sebagai bahan bakar.
Lalu pada tahun 2005, pemerintah Amerika Serikat meluncurkan program Renewable Fuel Standard (RFS) yang menargetkan penggunaan bahan bakar nabati, termasuk etanol, dalam jumlah yang lebih besar.
Dengan banyaknya penelitian dan aplikasinya pada kendaraan di banyak negara, tak membuat etanol bisa menggantikan dominasi bensin fosil.
Salah satu kendalanya adalah kompresi mesin dari beberapa pabrikan kendaraan yang kurang cocok dengan campuran etanol pada persentase tertentu.
Misalnya saja di Amerika Serikat saat ini, bensin yang dijual di sana mengandung etanol hingga 10 persen lantaran hal itu diamanatkan di beberapa kota dan negara bagian AS.
Akhirnya hingga saat sekarang, etanol banyak digunakan sebagai bahan bakar campuran dengan bensin di seluruh dunia, dengan persentase campuran yang bervariasi tergantung pada kebijakan pemerintah dan spesifikasi kendaraan.
Perkembangan bioetanol di Indonesia
Sedangkan di Indonesia, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau KESDM, di tahun 2015 sudah merilis Peraturan Menteri (Permen) ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) Nomor 12.
Di dalamnya menjelaskan mengenai penggunaan dari bioetanol E5 yang diwajibkan dimulai pada tahun 2020 dengan formulasi sebesar 5 persen dari etanol dan 95 persen dari bensin dan kemudian meningkat menjadi E20 di tahun 2025 nantinya.
Adapun Indonesia di tahun 2022, terdapat program bioetanol dari bahan baku tebu untuk ketahanan energi diharapkan menjadi solusi untuk meningkatkan produksi bioetanol nasional dari 40.000 kiloliter pada tahun 2022 menjadi 1,2 juta kiloliter pada tahun 2030.
Hal ini berdasarkan studi yang dilakukan di Brazil, energi yang dihasilkan dari 1 ton tebu setara dengan 1.2 barel minyak mentah.
Pakar bioenergi ITB, Tatang Hernas Soerawidjaja, menyampaikan bahwa mencampurkan bioetanol bisa menjadi solusi untuk dapat membantu mengurangi tekanan impor BBM yang telah membebani neraca perdagangan Indonesia.
Jika Indonesia berhasil menggunakan program biodiesel untuk menggantikan impor solar dengan biodiesel, maka Indonesia akan dapat mengurangi tekanan impor bensin yang jauh lebih besar dari solar.
https://money.kompas.com/read/2024/03/01/140309326/mengenal-etanol-yang-mau-dipakai-prabowo-untuk-hapus-impor-bbm