Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Memburu Penerimaan Negara Tanpa Menaikkan PPN

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan PPN tetap bakal naik meski presiden berganti.

Kenaikan PPN sejalan dengan UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). PPN naik jadi 11 persen mulai tahun 2022 dan menjadi 12 persen mulai tahun 2025. (cnnindonesia.com, 12 Maret 2024)

Kebijakan tersebut bertentangan dengan langkah pemerintah untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi pada tahun ini dan berikutnya. Tidak hanya itu, lebih jauh akan menyulitkan rakyat selaku konsumen, terutama konsumen menegah ke bawah.

Kontradiktif

Bila disimak, kebijakan menaikkan PPN tersebut jelas kontradiktif. Di satu sisi kita ingin agar perekonomian Indonesia terhindar dari tekanan krisis ekonomi yang melanda sejumlah negara dan agar ada percepatan laju pertumbuhan ekonomi.

Namun di sisi lain, kenaikan PPN justru akan berdampak terhadap pelemahan perekonomian.

Kenaikan PPN akan menimbulkan dampak ekonomi dan memporak-porandakan variabel ekonomi yang sudah kita bangun sejak melandainya pandemi Covid-19.

Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan di atas 5 persen, inflasi terkendali, dan menekan angka pengangguran justru akan terganggu alias sulit untuk direalisasikan.

Kenaikkan PPN tak ayal akan mendongkrak angka inflasi, pertumbuhan ekonomi akan terkoreksi (walaupun tidak signifikan), dan unit bisnis akan terganggu.

Bila ditelaah, sampai saat ini unit bisnis tidak sedikit yang “terseok-seok”. Walaupun berbagai strategi sudah mereka lakukan, tetapi tetap saja harus menerima kenyataan yang ada.

Sejumlah unit bisnis bahkan sudah tutup, baik di pusat maupun daerah. Misalnya gerai ritel modern Gaint, Ramayana, dan Transmart.

Unit bisnis lain terus berjuang untuk bertahan. Misalnya, mereka melakukan strategi menekan biaya dengan pindah lokasi atau menyewa tempat yang harganya terjangkau.

Apalagi saat ini persaingan semakin tajam. Pendatang baru sebagai pesaing terus memasuki pasar.

Tidak hanya itu, kenaikan PPN akan membebani konsumen kelas menengah dan bawah. Pada saat mereka belanja (untuk barang yang dikenakan PPN), ia akan menanggung beban PPN 12 persen tersebut.

Sebenarnya masih banyak sumber penerimaan yang bisa diburu dalam rangka meningkatkan penerimaan negara.

Penerimaan pajak masih bisa dioptimalkan. Penerimaan pajak yang hilang seperti disinyalir Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) bahwa diduga ada sejumlah perusahaan eskpor CPO tidak membayar PPN yang merugikan negara mencapai Rp 5 triliun - Rp 6 trilun. (Kompastv, 6 April 2022)

Belum lagi adanya fenomena warga yang menghindari pajak. Misalnya, tax revenue bunga deposito dari harta kekayaan anak negeri ini yang parkir di luar negeri.

Presiden Jokowi telah mengekspos kekayaan WNI yang diparkir di luar negeri sedikitnya mencapai Rp 11 triliun.

Selain itu, uang hasil korupsi yang mereka depositokan di tax heaven, yakni di Cayman Island, untuk menghindar dari pajak (tax evosion).

Masih ada lagi kasus penggelapan uang pajak. Beberapa waktu lalu, Mahfud MD selaku Menko Polhukam menyebut dugaan transaksi keuangan mencurigakan di Kementerian Keuangan yang mencapai angka ratusan triliun rupiah.

Belum lagi kasus kerugian negara akibat korupsi yang tidak diselesaikan sampai ke akar-akarnya. Korupsi merajalela karena lebih mementingkan kepentingan politis.

Sumberdaya Alam (SDA) yang belum dimanfaatkan secara optimal, bisa segera diberdayakan untuk dapat memperbesar penerimaan negara.

Bagi hasil atas pengeloaan SDA yang ada, besaran dalam perjanjian yang sudah disepakati tersebut, bisa saja direvisi agar bagi hasil yang kita terima lebih besar lagi.

Mencermati kemajuan perangkat ilmu dan pengetahuan yang dimiliki negeri ini, mungkin sudah selayaknya SDA yang potensial dan strategis kita kelola sendiri.

Terakhir yang tidak kalah penting, presiden selanjutnya semestinya merealisasikan janjinya saat kampanye Pilpres lalu, tidak menaikkan tarif pajak.

https://money.kompas.com/read/2024/03/19/085759826/memburu-penerimaan-negara-tanpa-menaikkan-ppn

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke