Dalam RUU pajak itu ditetapkan hanya ada lima jenis pajak yang diperkenankan menjadi sumber penerimaan provinsi, yakni Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok.
Poin khusus yang hanya ditemukan dalam RUU ini adalah aturan tegas yang mengharuskan penggunaan hasil penerimaan pajak daerah hanya untuk tujuan tertentu. Itu antara lain wajib mengalokasikan 10 persen dari penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur jalan.
Bertolak belakang
Ketua Umum Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) Gunadi Sindhuwinata mengecam RUU pajak kendaraan bermotor ini yang, menurut dia, bertolak belakang dengan sikap pemerintah yang acap kali mendorong industri otomotif untuk menggunakan komponen dalam negeri.
”Dampak turunannya semestinya dipertimbangkan kembali oleh pemerintah, bukan sekadar memberi keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengeruk pendapatannya,” ujar Gunadi berkaitan dengan RUU pajak yang bertujuan meredam pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor di negeri ini.
Gunadi menilai langkah pengenaan pajak untuk kendaraan bermotor ini karena pemerintah tidak mampu menyediakan dan membangun infrastruktur jalan.
Berdasarkan data, rata-rata pertumbuhan kendaraan penumpang hingga tahun 2007 mencapai 20,32 persen, mobil beban (truk) 21,57 persen, mobil bus 33,92 persen, dan sepeda motor 20,91 persen.
Menurut Gunadi, industri otomotif seharusnya didukung karena dalam penyusunan Visi 2030 dan Roadmap Industri 2015 Kadin Indonesia, industri ini dipandang sebagai motor penggerak ekonomi. Industri otomotif mampu menghidupkan industri baja dan juga industri komponen. (OIN/OSA/RYO)