Inovasi jasa keuangan sering menimbulkan risiko. Majalah The Economist edisi 25 Februari 2012 menyebutkan inovasi jasa keuangan sebagai bermain dengan api, penuh risiko, dan berbahaya. Pertumbuhan produk derivatif sangat cepat dan pada umumnya (80 persen) produk derivatif berupa over the counter (OTC) dalam bentuk forex options dan future, credit default swap (CDS), dan OTC lainnya.
Produk derivatif adalah suatu cara untuk membuat para pemegang dana memiliki rasa aman, tetapi eksesnya tidak dapat diperkirakan dan biasanya regulasi baru dapat diterapkan setelah terjadi masalah, misalnya penipuan, kejahatan, dan penyalahgunaan (fraud).
Sektor jasa keuangan di Indonesia masih sangat rentan pada gejolak eksternal. Krisis keuangan dapat terjadi sebagai akibat dari efek ketularan, baik dari negara tetangga, lingkup regional, maupun global. Dampak krisis moneter 1998 terhadap perekonomian Indonesia sangat besar, dengan biaya pemulihan krisis mencapai 60 persen dari PDB. Sektor perbankan Indonesia praktis kolaps jika pemerintah tidak merekapitalisasi perbankan.
Krisis 1998 memberikan pelajaran mengenai pentingnya kehati-hatian dan pengelolaan serta pengawasan perbankan yang profesional. Keberadaan produk-produk hibrida keuangan, dalam bentuk produk derivatif, yang tak diikuti regulasi yang mengaturnya, menyulut krisis kredit perumahan (subprime mortgage) 2007.
Pada April 2010, G-20 mengadopsi ketentuan Basel III. OJK harus mengantisipasi ketentuan baru mengenai kecukupan permodalan dan transaksi derivatif dalam Basel III meskipun pelaksanaannya dimulai tahun 2019 sebagai kelanjutan dari Basel II. Pengawasan perbankan berbasis risiko dalam Basel II merupakan tantangan yang belum tuntas karena kompleksitas pelaksanaan.
Indonesia menggunakan pendekatan terintegrasi (integrated approach) di mana OJK mengawasi seluruh lembaga keuangan, seperti halnya Financial Services Authority (FSA) di Inggris, Australia, dan Korsel. Tantangan ke depan OJK adalah agar masalah yang terjadi di Inggris dan Korsel tak berulang di Indonesia. Sejarah menunjukkan gagalnya koordinasi dengan Bank of England dalam penanganan Northern Rock. Di Korsel, FSA saat ini sedang dalam tekanan politik yang hebat agar pengawasan dikembalikan ke bank sentral akibat maraknya kasus korupsi.
OJK adalah lembaga otoritas yang dibentuk dari integrasi dua lembaga besar, yaitu Direktorat Pengatur dan Pengawas Perbankan BI dan Bapepam-LK Kementerian Keuangan. Selain kendala kelambanan waktu, efektivitas lembaga, dan cakupan wilayah kerja, OJK menghadapi permasalahan dalam mencapai model integrasi yang optimal karena peran dan kepentingan masing-masing cenderung berbeda, yakni antara prinsip prudensial pada perbankan dan lembaga keuangan serta keterbukaan pada pasar modal.
Dalam hal koordinasi makro, penambahan lembaga baru ini akan menambah jumlah anggota dalam forum pengambil kebijakan, khususnya di saat krisis. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Komite Koordinasi (KK) yang merupakan forum pengambilan keputusan di saat krisis yang sebelumnya hanya terdiri dari BI, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan nantinya akan bertambah dengan masuknya OJK hingga menjadi Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Penambahan anggota forum ini berkonsekuensi alotnya koordinasi di saat genting, saat krisis.
Anggito Abimanyu Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Yogyakarta