Dalam situasi inilah, Dian dan Eko menawarkan "bantuan". Mereka menjanjikan akan menghentikan pemeriksaan, jika mendapatkan kompensasi imbalan miliaran rupiah. Bagi wajib pajak, uang suap miliaran rupiah ini tentu saja ringan jika dibandingkan dengan kekurangan dan denda yang harus dibayar yang bisanya mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah.
Modus pemerasan terhadap wajib pajak juga dilakukan Pargono Riyadi, penyidik pajak pada Kanwil Ditjen Pajak Jakarta Pusat. Majelis Hakim Tipikor Jakarta akhirnya menjatuhkan pidana penjara kepada Pargono selama 4 tahun 6 bulan.
Reaksi keras
Kasus Handang Soekarno tak hanya mengoyak luka lama, tetapi juga pukulan keras bagi Ditjen Pajak yang dalam dua tahun terakhir tengah berjuang meningkatkan penerimaan pajak.
Hingga September 2016, penerimaan pajak dalam negeri hanya Rp 871,2 triliun, atau 58 persen dari target dalam APBN-Perubahan 2016 yang sebesar Rp 1.503,3 triliun.
Sri Mulyani sudah memperkirakan penerimaan pajak tak akan mencapai target APBN-P. Menurut hitung-hitungan Kemenkeu, akan terjadi shortfall sebesar Rp 219 triliun dari target.
Karena itulah, Sri Mulyani akhirnya memangkas belanja negara 2016 sebesar Rp 137,61 triliun. Pemangkasan dilakukan terhadap anggaran pemerintah pusat sebesar Rp 64,71 triliun dan anggaran transfer daerah senilai Rp 72,9 triliun.
Kondisi itu menggambarkan beratnya mengais pajak saat ini di tengah pelemahan ekonomi domestik dan global.
Tekanan terhadap Ditjen Pajak makin berat karena rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) Indonesia hanya sekitar 11 persen. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara tetangga yang kondisi ekonominya setara dengan Indonesia, seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand yang tax ratio-nya rata-rata mencapai 20 persen.
Rendahnya rasio pajak Indonesia terjadi karena besarnya kebocoran pajak. Penyebab bocornya pajak macam-macam mulai dari rendahnya kepatuhan pajak hingga korupsi pajak.
Karena berbagai tekanan itulah, Sri Mulyani bereaksi keras terhadap kasus Handang Soekarno. Saking geramnya, Sri Mulyani mengatakan, kalaupun gaji pegawai pajak dinaikkan 1.000 persen, tetap tak akan menyurutkan pegawai yang tamak untuk korupsi.
Ia pun ragu untuk tetap mendorong Ditjen Pajak menjadi lembaga negara tersediri, terpisah dari Kemenkeu apabila korupsi masih marak terjadi.
Di ujung semua kekecewaannya, Sri Mulyani akhirnya membentuk tim reformasi pajak untuk merombak total sistem internal pajak agar tak ada lagi kasus korupsi. Langkah ini merupakan terobosan yang tak pernah dilakukan sebelumnya.
Tim reformasi pajak akan berisi tokoh-tokoh berintegritas termasuk KPK. Kita berharap tim ini mampu membuat sistem yang bisa menutup seluruh celah korupsi. Jika Ditjen Pajak berintegritas tinggi, rakyat tentu makin semangat membayar pajak.
Semangat Bu Ani...!