Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Mengapa Indonesia Tertinggal dari Vietnam?

Kompas.com - 25/06/2019, 09:29 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Tetapi, industri manufaktur Vietnam memiliki tingkat keanekaragaman industri yang lebih tinggi daripada beberapa tujuan sumber alternatif lain, seperti Bangladesh, Kamboja, India, dan Indonesia.

Di luar Cina, pada 2018, Vietnam adalah salah satu produsen terbesar untuk beragam produk manufaktur padat karya dunia, seperti peralatan listrik (94 miliar dolar); alas kaki (19,9 miliar dolar); mesin dan komputer (14,6 miliar dolar); pakaian dan aksesori bukan rajutan (13,8 miliar dolar); pakaian dan aksesoris rajutan (13 miliar dolar); perabotan, tempat tidur, penerangan, papan nama, dan bangunan rumah pabrikan (8,9 miliar dolar); hingga peralatan optik, teknis dan medis (5,6 miliar dolar).

Dengan kata lain, untuk memproduksi ragam produk padat karya yang biasa atau selama ini diproduksi di Cina, dengan ongkos produksi yang lebih murah, investor dapat memilih Vietnam untuk memproduksinya. Ragam produk tersebut berbeda dengan corak komoditas industri pengolahan di Indonesia yang didominasi pengolahan kelapa sawit, karet dan plastik, serta logam Rp 51 triliun, yang masing-masing senilai Rp 272 triliun, Rp 66 triliun, dan Rp 51 triliun.

Kedua, fleksibilitas industri manufaktur Vietnam. Menemukan insinyur perkakas yang berkualitas di Vietnam untuk merancang cetakan produk sesungguhnya tak mudah. Sebanyak 78 persen tenaga kerja Vietnam tidak memiliki kualifikasi akademik. Dan, Vietnam berada di peringkat 102 dari 130 negara dalam hal keterampilan tenaga kerja, atau jauh di bawah Indonesia yang berada di peringkat 51. 

Namun, pelaku industri manufaktur di Vietnam menyiasatinya dengan mengandalkan pemasok Cina yang menggunakan mesin dan teknisi kontrol numerik komputer untuk mengembangkan cetakan dan perkakas. Perusahaan kemudian mengirimkan peralatan ini ke Vietnam untuk digunakan dalam produksi skala besar.

Dengan demikian, industri di Vietnam cukup menyediakan produksi massal, sementara produksi yang membutuhkan keahlian tinggi didatangkan dari Cina. Ketersediaan klaster kawasan industri yang beragam memungkinkan Vietnam menampung jenis produk apapun yang dibutuhkan investor dari Cina untuk melakukan produksi massal. 

Ketiga, upah murah. Upah minimum di Cina meningkat lebih dari 60 persen sejak 2011, mengikis margin keuntungan pada beberapa produk padat karya. Upah minimum bulanan Vietnam pada 2019 bervariasi menurut wilayah, mulai dari 122 dolar hingga 176 dolar. Besaran upah ini setengah dari upah di Cina yang berkisar antara 143 dolar hingga 348 dolar. Dan, pertumbuhan upah minimum Vietnam menunjukkan tanda-tanda stabilitas. Upah minimum meningkat rata-rata 6,5 persen pada 2018.

Bagaimana dengan Indonesia? Upah minimum di Indonesia pada tahun 2018 tercatat berkisar antara 121 dolar hingga 265 dolar. Meskipun pada rentang bawah seimbang dengan upah minimum Vietnam, namun pada rentang atas rata-rata lebih tinggi hingga 40 persen. Sayangnya, sebagian besar upah minimum yang tinggi itu berada kawasan andalan industri manufaktur Indonesia, yaitu Jabodetabek. 

Biaya tenaga kerja adalah pertimbangan utama untuk setiap investasi produk padat karya, karena umumnya meliputi sekitar 30 persen biaya produksi. Dan, kenaikan biaya tenaga kerja tetap menjadi faktor utama yang mendorong manufaktur dari negara-negara yang lebih maju ke negara-negara kurang berkembang di Asia. Upah rendah terus menjadi keuntungan terbesar banyak negara berkembang untuk menarik industri.

Namun, sesungguhnya persoalan upah bukan semata besarannya. Kenaikan yang cepat dan tingginya komponen pesangon juga menjadi perhatian utama pelaku industri manufaktur. Dua hal tersebut menjadi problem tersendiri bagi ketenagakerjaan di Indonesia di mata investor.

Dengan kenaikan rata-rata upah minimum per tahun di atas 10 persen, Indonesia menjadi negara dengan kenaikan upah tertinggi tiap tahunnya dibanding negara-negara pesaing utama, terutama Vietnam yang berkisar 5-6 persen. Sementara, meski indikator pasar tenaga kerja di Indonesia berfungsi cukup baik dibandingkan dengan pesaing utama namun untuk urusan pesangon berada di peringkat 134 dari 140 negara

Peningkatan cepat dalam upah minimum dan besarnya pesangon dapat menyulitkan pabrik untuk menyesuaikan operasi untuk mengimbangi biaya dan mempertahankan margin keuntungan dalam jangka pendek.

Keempat, relatif mudahnya pemindahan rantai pasokan. Beberapa waktu lalu, South Cina Morning Post dalam salah satu artikelnya menulis, biaya pemindahan rantai pasokan Cina ke Vietnam dapat menelan biaya 1,4 juta dolar hanya untuk tahap awal relokasi, termasuk: membayar dan mengubah pabrik-pabrik industri, mentransfer jalur produksi otomatis, serta membayar tunjangan untuk mengirim pekerja Cina yang terampil.

Biaya untuk menyewa lahan industri dalam hal ini paling tinggi. Berdasarkan data Cushman dan Wakefields, sewa per tahun di satu kawasan industri Vietnam pada tahun 2018 mencapai 80 dolar per meter persegi, naik dari 70 dolar pada 2017. Tapi, angka tersebut masih jauh lebih rendah dibanding harga sewa lahan industri beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Indonesia, misalnya, per meter persegi lahan industri di negeri ini mencapai rata-rata 132,7 dolar. 

Namun demikian, terlepas dari rendahnya sewa lahan industri, Vietnam memang memiliki keunggulan geografis, yang tak dimiliki negara-negara pesaingnya di Asia Tenggara, yaitu kedekatannya dengan Cina. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya yang lebih jauh, mengimpor input dari Cina selatan tentu jauh lebih cepat dan murah. Selain memudahkan pasokan impor bahan baku, kedekatan juga memudahkan kontrol kualitas dan mobilitas tenaga kerja ahli.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com