Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perang Dagang, Bank Dunia Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Asia Makin Sulit

Kompas.com - 10/10/2019, 12:50 WIB
Fika Nurul Ulya,
Bambang P. Jatmiko

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - World Bank kembali memprediksi pertumbuhan ekonomi yang melambat di negara-negara Asia Timur dan Pasifik, termasuk Indonesia.

Dalam laporan perkembangan ekonomi edisi Oktober 2019 berjudul Weathering Growing Risk, ekonomi Asia Timur dan Pasifik hanya mampu tumbuh 5,8 persen pada 2019, melambat dari 6,3 persen pada tahun 2018.

Pertumbuhan ekonomi juga terus tertekan di tahun 2020 hingga 2021. World Bank memperkirakan, pertumbuhan ekonomu Asia Timur dan Pasifik menjadi 5,7 persen di tahun 2020 dan 5,6 persen di tahun 2021.

Ekonom Utama Bank Dunia untuk Asia Timur dan Pasifik, Andrew Mason mengatakan, pertumbuhan yang melambat itu disebabkan oleh ketidakpastian global, termasuk perang dagang AS-China yang belum membaik.

Baca juga : Melambat, ADB Prediksi Pertumbuhan Ekonomi RI 5,1 Persen Tahun Ini

Perang dagang ini memicu penurunan investasi dan ekspor di negara-negara dunia. Pun menguji ketahanan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik.

"Ketegangan perdagangan yang berkepanjangan antara AS-China akan terus menekan pertumbuhan investasi. Apalagi perlambatan di China lebih cepat dari yang kami perkirakan. Belum lagi brexit dan ketegangan AS-Eropa bisa melemahkan permintaan eksternal untuk ekspor," kata Andrew Mason dalam konferensi video di Jakarta, Kamis (10/10/2019).

Negara Berkembang

Negara berkembang juga bakal sulit untuk menyamai Tiongkok ketika perusahaan berpindah untuk menghindari tarif yang dilayangkan Presiden AS Donald Trump. Pasalnya, infrastruktur di kebanyakan kawasan negara berkembang belum cukup memadai.

"Ketika banyak perusahaan mencari cara untuk menghindari tarif, akan sulit bagi negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik untuk menggantikan Tiongkok karena infrastruktur yang tidak memadai dan skala produksi yang kecil dalam jangka pendek," ucap dia.

Ketika pertumbuhan melambat seperti itu, kata Andrew, bukan tidak mungkin kemiskinan bakal meningkat. Pihaknya memperkirakan, hampir seperempat penduduk di negara berkembang hidup di bawah garis kemiskinan.

"Perkiraan itu hampir 7 juta orang lebih banyak dari yang kami proyeksikan pada bulan April, ketika pertumbuhan kawasan terlihat lebih kuat pada saat itu," imbuh Andrew.

Tidak hanya itu, tingkat utang yang tinggi di negara kawasan juga membatasi kemampuan mereka menggunakan kebijakan fiskal dan moneter untuk mengurangi dampak perlambatan.

Reformasi Kebijakan

Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan di atas, World Bank menyarankan negara-negara untuk menggunakan kebijakan fiskal/moneter sekaligus menjaga kesinambungan fiskal dan utang.

"Negara juga perlu melakukan reformasi untuk meningkatkan produktifitas. Reformasi itu termasuk reformasi peraturan yang meningkatkan iklim perdagangan dan investasi," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KAI Bakal Terima 1 Rangkaian Kereta LRT Jabodebek yang Diperbaiki INKA

KAI Bakal Terima 1 Rangkaian Kereta LRT Jabodebek yang Diperbaiki INKA

Whats New
BTN Relokasi Kantor Cabang di Cirebon, Bidik Potensi Industri Properti

BTN Relokasi Kantor Cabang di Cirebon, Bidik Potensi Industri Properti

Whats New
Pengelola Gedung Perkantoran Wisma 46 Ajak 'Tenant' Donasi ke Panti Asuhan

Pengelola Gedung Perkantoran Wisma 46 Ajak "Tenant" Donasi ke Panti Asuhan

Whats New
Shell Dikabarkan Bakal Lepas Bisnis SPBU di Malaysia ke Saudi Aramco

Shell Dikabarkan Bakal Lepas Bisnis SPBU di Malaysia ke Saudi Aramco

Whats New
Utang Rafaksi Tak Kunjung Dibayar, Pengusaha Ritel Minta Kepastian

Utang Rafaksi Tak Kunjung Dibayar, Pengusaha Ritel Minta Kepastian

Whats New
BEI Enggan Buru-buru Suspensi Saham BATA, Ini Sebabnya

BEI Enggan Buru-buru Suspensi Saham BATA, Ini Sebabnya

Whats New
PT Pamapersada Nusantara Buka Lowongan Kerja hingga 10 Mei 2024, Cek Syaratnya

PT Pamapersada Nusantara Buka Lowongan Kerja hingga 10 Mei 2024, Cek Syaratnya

Work Smart
Koperasi dan SDGs, Navigasi untuk Pemerintahan Mendatang

Koperasi dan SDGs, Navigasi untuk Pemerintahan Mendatang

Whats New
Cadangan Devisa RI  Turun Jadi 136,2 Miliar Dollar AS, Ini Penyebabnya

Cadangan Devisa RI Turun Jadi 136,2 Miliar Dollar AS, Ini Penyebabnya

Whats New
Bea Cukai Klarifikasi Kasus TKW Beli Cokelat Rp 1 Juta Kena Pajak Rp 9 Juta

Bea Cukai Klarifikasi Kasus TKW Beli Cokelat Rp 1 Juta Kena Pajak Rp 9 Juta

Whats New
Luhut Optimistis Upacara HUT RI Ke-79 Bisa Dilaksanakan di IKN

Luhut Optimistis Upacara HUT RI Ke-79 Bisa Dilaksanakan di IKN

Whats New
Perkuat Distribusi, Nestlé Indonesia Dukung PT Rukun Mitra Sejati Perluas Jaringan di Banda Aceh

Perkuat Distribusi, Nestlé Indonesia Dukung PT Rukun Mitra Sejati Perluas Jaringan di Banda Aceh

BrandzView
Simak, Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BRI hingga CIMB Niaga

Simak, Rincian Kurs Rupiah Hari Ini di BRI hingga CIMB Niaga

Whats New
Harga Emas Dunia Turun di Tengah Penantian Pasar

Harga Emas Dunia Turun di Tengah Penantian Pasar

Whats New
Resmi Melantai di BEI, Saham Emiten Aspal SOLA Naik 30 Persen

Resmi Melantai di BEI, Saham Emiten Aspal SOLA Naik 30 Persen

Whats New
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com