Kondisi demikian akan lebih parah jika negara tak berhenti mencetak uang, sementara permintaan maupun produksi barang/jasa berkurang, khususnya saat situasi krisis.
Nilai tukar anjlok
Nilai tukar uang asing sangat dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar. Bertambahnya rupiah bisa berakibat turunnya nilai kurs. Apalagi, rupiah bukan mata uang yang bisa diterima di dunia seperti dollar AS atau yen Jepang.
Baca juga: Saat Pandemi Corona Buat Gerak Inflasi Jadi Tak Biasa
Sebagai contoh, di Zimbabwe, selain terjadi hiperinflasi, nilai mata uang negara tersebut sudah hampir tak bernilai untuk membeli kurs asing.
Zimbabwe pernah mengalami inflasi hingga 11,250 juta persen bahkan pernah menyentuh 231 juta persen pada 2008. Tingginya angka inflasi mendorong negara ini melakukan redenominasi mata uang, dengan menyederhanakan uang 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe atau menghilangkan 10 angka nol.
Utang luar negeri membengkak
Risiko utang luar negeri yang naik tajam merupakan efek domino dari anjloknya mata uang rupiah terhadap mata uang asing. Semakin nilainya merosot, maka otomatis membuat utang luar negeri bisa semakin membengkak.
Bank Indonesia berbeda dengan bank sentral AS Federal Reserve yang dapat dengan bebas mencetak dollar AS. Mata uang Negeri Paman Sam dipakai oleh sebanyak 85 persen transaksi ekspor-impor dunia, sedangkan rupiah tidak diakui mata uang yang dipakai secara internasional.
Baca juga: BI: Inflasi April 0,18 Persen, Bawang Merah Jadi Penyumbang Terbesar
PHK besar-besaran
Jumlah uang yang beredar terlalu banyak bisa membuat daya beli masyarakat anjlok. Ini terjadi saat uang yang beredar tak sebanding dengan produksi barang/jasa.
Karena lemahnya daya beli masyarakat, banyak perusahaan terpaksa menurunkan atau menahan produksi mereka yang berimbas pada langkah pengurangan karyawan.
Selain itu, hal ini dipandang investor sebagai risiko, sehingga mereka juga tak tertarik berinvestasi di Indonesia. Dalam kondisi parah, investor akan menarik modalnya di Indonesia.
Sebelumnya Bank Indonesia (BI) memberi indikasi tak akan mencetak uang tambahan utuk menambah dana atau likuiditas perbankan maupun untuk menambal defisit anggaran pemerintah.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, salah satu pertimbangannya, bank sentral tidak ingin mengulang kasus mengulang kasus Bantuan Likuditas Bank Indonesia (BLBI) saat 1998. Hal ini menyebabkan inflasi tinggi hingga 67 persen.