JAKARTA, KOMPAS.com - Lemahnya tracing atau pelacakan terhadap terhadap kasus pasien terinfeksi virus corona (Covid-19) dinilai sebagai salah satu akibat dari rendahnya alokasi anggaran untuk penanganan kesehatan di Indonesia.
Pengamat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sekaligus akademisi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) Prastuti Soewondo mengatakan, dari total anggaran belanja kesehatan, sebagian besar atau sekitar 77,1 persen digunakan untuk pelayanan yang sifatnya kuratif dan rehabilitatif.
Sementara untuk layanan yang sifatnya preventif dan promotif sangat kecil, hanya sekitar 19,3 persen dari total belanja di bidang kesehatan.
"Misalnya untuk imunisasi hanya 1,4 persen, untuk penanganan penyakit yang tidak menular, seperti diabetes, kolesterol, jantung dan sebagainya itu banyak sekali, sebenarnya itu kan bisa dikendalikan dengan health education atau screening," ujar Prastuti dalam video conference, Jumat (29/5/2020).
Baca juga: Boleh Sambut “New Normal” dengan Belanja, Asalkan…
"Itu kita proporsinya, untuk education, screening itu hanya 0,2 persen, sedikit sekali. Maka ketika pandemi datang kita sulit menangani, tracing dari penanganan penyakit, karena memang infrastrukturnya tidak dibangun secara ajeg," jelas dia.
Dia pun memaparkan, belanja kesehatan pemerintah, meski secara nominal terus mengalami peningkatan, namun secara proporsi pertumbuhannya cenderung stagnan.
Porsi belanja kesehatan dalam 10 tahun terakhir bergerak di kisaran 3,1 persen hingga 3,2 persen dari PDB.
Prastuti mengatakan, angka tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara berkembang lainnya dan hanya sedikit lebih tinggi dari Laos dan Kamboja.
"Ini kita seperti anemia, kekurangan darah untuk kesehatan," jelas dia.
Baca juga: Jepang Tambah Stimulus Rp 16.170 Triliun untuk Perangi Virus Corona
Berdasarkan data National Health Accounts tahun 2018, total belanja kesehatan pada tahun 2018 mencapai Rp 455,5 triliun atau sekitar 3,1 persen dari PDB. Dari jumlah tersebut, belanja publik mencapai 53,8 persen atau sebesar Rp 245,11 triliun dan belanja non publik sebesar Rp 210,44 triliun atau 46,2 persen.
Menurut Prastuti, untuk bisa menjaga keberlanjutan layanan kesehatan di Indonesia baik jangka menengah dan panjang, pemerintah harus mematok porsi tertentu belanja kesehatan.
"Thailand contohnya, mengalokasikan 20 persen hingga 20 persen untuk public health activities, mereka prevention promotion-nya cukup kuat, sehingga sistem kesehatan mereka secara keseluruhan cukup andal," jelas dia.
Baca juga: Tanggulangi Covid-19, PTPN Grup Alih Fungsikan 18 Rumah Sakit
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.