Proyeksi ketiga, di masa-masa mendatang berbagai bentuk restrukturisasi kelembagaan koperasi akan menjadi kenormalan baru. Amalgamasi, merger atau akuisisi akan menjadi lumrah di koperasi. Sebabnya, koperasi primer nasional dengan pendirian lintas wilayah cenderung membuat ikatan kewilayahan menjadi lebih cair. Ikatan kewilayahan yang saya maksud adalah sebagai keintiman (intimacy) orang dengan lokus hidupnya.
Selama ini sungguh sulit mengupayakan amalgamasi atau merger antar koperasi sebagai strategi pengembangan lembaga dan usaha yang lebih disebabkan variabel non-ekonomi. Misalnya seperti faktor kesejarahan koperasi yang melekat pada lokus hidup tertentu.
Primer nasional akan mengubah ikatan itu tak lagi berbasis pada lokus hidup, melainkan kesamaan kepentingan dan aspirasi anggotanya. Di sini koperasi akan mulai berhitung rasional dan menilai amalgamasi atau merger merupakan strategi yang wajar.
Selain kemudahan dalam pasal pendirian, ada satu hal yang progresif di omnibus law klaster koperasi dan UKM ini. Yaitu adanya alokasi minimal 40 persen pengadaan barang dan jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang harus diberikan kepada Usaha Mikro Kecil (UMK) dan koperasi.
Dengan afirmasi itu membuka peluang bagi usaha mikro kecil dan koperasi diprioritaskan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Taksiran nilainya ratusan trilyun untuk Pemerintah Pusat, belum termasuk Pemerintah Daerah.
Di negara lain ada inisiatif yang mirip dengan itu yang bernama Preston Model, Lancashire, Inggris. Inisiatif itu dimulai dari Dewan Kota yang membangun close loop economy, menghubungkan berbagai pengadaan barang dan jasa sektor publik kepada lembaga-lembaga jangkar lokal.
Di sana koperasi serta entitas lain, seperti pelaku bisnis lokal diberikan prioritas. Dengan cara ini, perputaran ekonomi dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi pelaku ekonomi lokal. Sebuah pelembagaan demokrasi ekonomi di level lokal.
Omnibus law ternyata lebih besar cakupannya. Tak hanya memandatkan kepada Pemerintah Pusat, namun juga Pemerintah Daerah. Bayangkan betapa besarnya kue yang dapat diakses oleh usaha mikro-kecil serta koperasi. Tentu syaratnya semua prosedur itu harus mudah. Sebab pelaku usaha mikro-kecil banyak yang tak memiliki kapasitas kelembagaan dan manajerial yang baik.
Prosedur itu sedari awal harus dibuat ramah UMK sehingga workable. Itu tantangan besar, mulai dari segi akses, data, kualitas, kapasitas produksi dan lain sebagainya.
Pada struktur pelaku ekonomi Indonesia di mana 98 persennya berskala usaha mikro dan kecil, afirmasi kuota tersebut dapat menjadi solusi di tengah dan pascapandemi mendatang. Belanja pemerintah harus sebesar-besarnya dapat diserap oleh mereka.
Isu kapasitas dan kapabilitas sebenarnya bisa dijawab dengan pendekatan kelembagaan, yakni dengan memperkenalkan model koperasi agregator usaha mikro dan kecil.
Koperasi agregator inilah yang akan mengembangkan berbagai kapasitas dan kapabilitas dalam produksi dan produk anggotanya. Mulai dari kualitas, konsistensi, kontinyuitas, kurasi produk dapat dilakukan koperasi. Bahkan koperasi ini bisa dimulti-pihakkan dengan melibatkan para jenius kreatif yang tersebar di berbagai daerah.
Entrepreneurial yang rendah pada mikro dan kecil dapat diungkit dengan mengawin-silangkan keduanya. Toh selama ini mereka juga banyak berkecimpung di berbagai startup yang menyasar segmen the bottom of pyramid.
Dengan skema multi pihak, insentif ekonomi yang adil dan wajar bagi keduanya dapat diciptakan. Satu pihak adalah kelompok anggota entrepreneur dan pihak yang lain adalah produsen dengan hak-kewajiban yang disepakati bersama.
Baca juga: Kini Bangun Koperasi Tak Perlu 20 Orang Lagi
Meski belum banyak mengubah pada arsitektural kelembagaan koperasi, omnibus law klaster koperasi memberi angin segar bagi pengembangan koperasi di Indonesia. Tantangan berikutnya adalah menurunkan diktum undang-undang itu dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan peraturan lainnya agar satu tujuan dan satu nafas: kemudahan.