Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Chappy Hakim
KSAU 2002-2005

Penulis buku "Tanah Air Udaraku Indonesia"

Omnibus Law dan Pancasila

Kompas.com - 16/10/2020, 19:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BELAKANGAN ini kita disibukkan dengan kehebohan Omnibus Law yang kadang disebut juga sebagai Undang-undang Cipta Kerja. Polemik yang terjadi tidak main-main karena telah memakan banyak korban dan juga kerusakan fasilitas umum yang dengan susah payah dan biaya mahal dibangun untuk kepentingan masyarakat luas.

Indonesia seakan terbelah dua dalam kasus Omnibus Law ini yaitu mereka yang setuju dan mendukung serta mereka yang sangat keras menentangnya. Masing-masing memiliki alasan dan argumentasi yang kelihatan sama kuat dan sama masuk akal.

Presiden menjelaskan tentang Omnibus Law yang ditujukan untuk mendorong penciptaan lapangan kerja baru khususnya di sektor padat karya. Pada sisi lain Omnibus Law juga ditargetkan untuk memotong alur birokrasi yang selama ini dipandang banyak menghambat dalam proses perijinan usaha dan sekaligus niat para investor berinvestasi di Indonesia.

Sehingga pada dasarnya, Omnibus Law bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sebuah langkah terobosan yang dipilih oleh pemerintah untuk dapat memudahkan dan mempercepat aneka program bagi kepentingan rakyatnya. Sebuah niatan yang seharusnya dan juga logikanya akan memperoleh dukungan yang luas dari segenap rakyat Indonesia.

Agak sedikit membingungkan, bahwa ternyata Omnibus Law ini yang logikanya harus didukung bersama, ternyata telah pula menumbuhkan arus besar perlawanan dari pihak yang menentangnya.

Tidak tanggung-tangung karena mereka yang menentang adalah bukan hanya rakyat biasa seperti yang terkuak dipermukaan sebagai pendemo yang ternyata belum pernah membaca Omnibus Law akan tetapi juga banyak kaum cerdik pandai dan para akademisi yang mengemukakan ketidak-setujuannya.

Profesor Riset dan Intelektual Muslim Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar menyatakan Omnibus Law tidak layak secara akademis dan berbahaya terhadap konstitusional. Sementara itu Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zaenal Arifin Mochtar menyatakan penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja perlu diiringi dengan desakan atau tekanan dari publik secara meluas karena tak sedikit pihak yang dirugikan dari peraturan tersebut.

Ada beberapa lagi pendapat para kaum intelektual bangsa yang menganalisis dengan kajian mendalam tentang Omnibus Law yang pada dasarnya menyebut bahwa UU tersebut tidak layak dilaksanakan oleh pemerintah. Alasan-alasan dan argumentasi yang masuk akal juga dikemukakan mengenai tidak layaknya Omnibus Law untuk dilaksanakan di negeri ini.

Sampai di sini pertanyaannya adalah, mengapa tidak ada dialog atau komunikasi antara para ahli, akademisi kaum terpelajar, professor, doktor dan para praktisi dari pihak yang mendukung dan dari pihak yang menolak untuk duduk bersama-sama merumuskan niat baik yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mensejahterakan rakyat Indonesia?

Kedua belah pihak selalu mendasari alasan dan analisis masing-masing yang sama yaitu untuk atau demi kesejahteraan rakyat. Sebuah alasan yang sama dan sebangun, sebuah modal besar bagi dapat terselenggaranya dengan mudah dialog dan atau komunikasi dan sayangnya tidak pernah terjadi.

Lebih dari itu justru yang muncul di permukaan sebuah kecenderungan untuk saling mempersalahkan alias saling tuduh satu dengan lainnya dalam membahas Omnibus Law ini.

Sekedar catatan saja, bahwa untuk urusan mencari kesalahan adalah sebuah kerja yang sangat mudah dilakukan oleh siapa saja, bahkan tidak memerlukan pendidikan tinggi sama sekali, karena memang pada dasarnya tidak satu orangpun di permukaan bumi ini yang “sempurna”.

Seiring dengan itu pasti sudah dapat dipahami pula oleh para akademisi dan kalangan cerdik cendikia, profesor, doktor dan lain sebagainya bahwa mekanisme mencari kesalahan orang lain adalah sebuah kegiatan yang jauh dari sebuah proses menyelesaikan persoalan atau problem solving.

Apalagi untuk penyelesaian masalah berkait dengan upaya mensejahterakan rakyat kita sendiri. Perangkat komunikasi dalam mekanisme prosedur dan tata cara mengelola pemerintahan pun sebenarnya sudah tersedia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com