PRESIDEN Jokowi menindaklanjuti keputusan paripurna DPR yang telah menyetujui UU Omnibus law. Pada 2 November 2020 (kurang 3 hari dari batas waktu pengesahan UU oleh Presiden), Presiden Jokowi mengesahkan Undang-undang tersebut dalam lembaran negara menjadi UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Padahal, protes terhadap UU ini cukup kuat.
Penolakan bukan hanya dari kelompok buruh tetapi juga dari akademisi, termasuk dua ormas Islam terbesar, Muhammadiyah, dan NU.
Hiper regulasi
Protes dan penolakan yang disampaikan oleh kelompok masyarakat adalah sesuatu yang wajar dan diperlukan. Proses legislasi UU Cipta Kerja yang super cepat menimbulkan kecurigaan. Apalagi masyarakat mengalami kebingungan karena ada beberapa draft berbeda yang telah disahkan. Naskah yang diserahkan DPR kepada Istana sendiri berjumlah 812 halaman.
Kemudian berubah menjadi naskah final versi pemerintah sejumlah 1.187. Belakangan publik mendapati, terdapat “salah ketik” di beberapa pasal yang telah diundangkan dan disahkan dalam lembaran negara. Hubungan pasal 5 dan pasal 6 dalam UU tersebut juga bermasalah.
Pasal 6 dalam undang-undang itu merujuk pada pasal 5 ayat 1 huruf a. Namun pada pasal 5 tidak terdapat ayat atau huruf.
Maka, masyarakat layak untuk bertanya, kepentingan apa dan siapa yang direpresentasikan oleh UU no 11 tahun 2020? Mengapa pemerintah terlihat ngotot untuk mengesahkan UU ini dan mengabaikan aspirasi masyarakat?
Pemerintah menjelaskan, omnibus law adalah langkah strategis untuk mengatasi kesemrawutan dan tumpang tindih regulasi yang menghambat investasi dan pergerakan roda ekonomi.
Baca juga: Sri Mulyani Sebut Ekonomi Digital Tak Maksimal bila Tak Ada UU Cipta Kerja
Presiden Jokowi menyebut, Indonesia mengalami hiper regulasi di mana sekitar 8.451 peraturan pusat dan 15.985 peraturan daerah telah menyebabkan ruang gerak pemerintah dan dunia usaha tidak lincah karena terpasung birokratisasi.
Presiden Jokowi benar. Riset Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia menemukan bahwa masalah besar dalam regulasi di Indonesia adalah hiper regulasi di mana ada tumpang tindih dan ketidaksesuaian antar UU yang ada. Belum lagi ditambah jumlah undang-undang yang sangat banyak. Jadi, semangat UU Omnibus law untuk memangkas, menata dan mengharmonisasi UU sehingga UU yang ada saling terkait dan relevan, memang sangat diperlukan.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan