Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

BPK Khawatirkan Bengkaknya Utang Pemerintah di Era Jokowi

Kompas.com - 23/06/2021, 11:37 WIB
Muhammad Idris

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mengaudit laporan keuangan pemerintah pusat di era pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tahun lalu, termasuk penggunaan APBN 2020.

Lembaga auditor itu menyatakan kekhawatiran kesanggupan pemerintah dalam melunasi utang plus bunga yang terus membengkak sejak beberapa waktu terakhir.

Ketua BPK Agung Firman Sampurna berujar, utang pemerintah semakin jor-joran akibat merebaknya pandemi virus corona (Covid-19). Pertumbuhan utang dan biaya bunga yang ditanggung pemerintah ini melampaui pertumbuhan PDB nasional.

"Meskipun rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 dan UU Keuangan Negara, tapi trennya menunjukkan adanya peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah," kata Agung seperti dikutip dari Kompas TV pada Rabu (23/6/2021).

Baca juga: Jadi Kontroversi, Berapa Utang Pemerintah di Era Jokowi?

Lembaganya menyoroti kenaikan utang pemerintah Presiden Jokowi yang melebihi kebutuhan. Ia menjelaskan, realisasi pendapatan negara dan hibah di tahun 2020 sebesar Rp 1.647,78 triliun.

Kemudian realisasi belanja negara sebesar Rp 2.595,48 triliun. Sehingga, defisit APBN mencapai Rp 947,7 triliun.

Untuk menutupi defisit, pemerintah menarik utang sebesar Rp 1.193,29 triliun. Jumlah itu setara 125,91 persen dari nilai defisitnya. Akibatnya, terdapat Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) sebesar Rp 245,59 triliun.

"Realisasi pembiayaan tersebut terutama diperoleh dari penerbitan Surat Berharga Negara, Pinjaman Dalam Negeri, dan Pembiayaan Luar Negeri Sebesar Rp 1.225,99 triliun, yang berarti pengadaan utang tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit," kata Agung.

Baca juga: Nasib Garuda: Utang Urung Dibayar, Bunga Terus Menggunung

Mengkhawatirkan

Berdasarkan audit yang sudah dilakukan BPK, utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF atau International Debt Relief (IDR) yakni, 25-35 persen.

Sedangkan rasio debt service terhadap penerimaan APBN 2020 sebesar 46,77 persen. Begitu juga rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan di 2020 yang sebesar 19,06 persen.

Angka itu melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7-19 persen.

Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

Baca juga: Terus Melonjak, Total Utang Pemerintah Capai Rp 6.361 Triliun

Asal tahu saja sepanjang tahun 2020, utang pemerintah sudah mencapai Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini meningkat pesat dibandingkan dengan akhir tahun 2019 yang tercatat Rp 4.778 triliun.

Kemudian, rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen, melampaui rekomendasi IDR sebesar 92-167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90-150 persen.

"Tak hanya itu, indikator kesinambungan fiskal Tahun 2020 yang sebesar 4,27 persen juga melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 - Debt Indicators yaitu di bawah 0 persen," pungkas Agung.

Pengelolaan utang kurang efektif

Dilansir dari Kontan, sebelumnya BPK menilai pengelolaan utang pemerintah pusat kurang efektif dalam menjamin biaya minimal dan risiko terkendali, serta kesinambungan fiskal untuk periode 2018 hingga kuartal ketiga tahun lalu.

Baca juga: Janji Jokowi Bawa RI Swasembada Kedelai dalam 3 Tahun dan Realisasinya

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2019, BPK menyatakan pengelolaan utang pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas tidak efektif lantaran strategi pengembangan pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik belum meningkatkan likuiditas pasar SBN.

“Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa pengelolaan utang pemerintah pusat kurang efektif untuk menjamin biaya minimal dan risiko terkendali serta kesinambungan fiskal,” tulis BPK dalam laporannya.

BPK menilai penerapan kebijakan pengembangan pasar SBN serta dampaknya terhadap pencapaian pasar SBN yang dalam, aktif, dan likuid juga dinilai masih memiliki kelemahan dalam perencanaan maupun pelaksanaan untuk mencapai target atau arah kebijakan.

BPK juga menilai pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak memiliki parameter dan indikator pencapaiannya.

Baca juga: Apa Kabar Janji Jokowi Turunkan Harga Daging Sapi Jadi Rp 80.000 Per Kg?

Kebijakan dan strategi pengelolaan utang pemerintah yang dituangkan dalam dokumen-dokumen perencanaan dan penganggaran belum dapat diukur pencapaiannya.

Hal tersebut karena pemerintah belum memiliki laporan pertanggungjawaban atas kebijakan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif.

Definisi dan indikator kegiatan produktif dalam pemanfaatan utang belum jelas diungkap dalam dokumen perencanaan pemerintah.

“Pertumbuhan PDB tidak selaras dengan pertumbuhan utang, mengindikasikan tujuan pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif sesuai dengan Renstra DJPPR belum sepenuhnya tercapai,” ungkap BPK.

Baca juga: Makin Menumpuk, Utang Luar Negeri Indonesia Capai Rp 5.803 Triliun

BPK juga menilai terdapat peningkatan belanja bunga utang dan pemanfaatan utang sebagian besar masih untuk pembiayaan utang jatuh tempo dan bunga utang (refinancing) sepanjang 2014–2019.

“Akibatnya, pencapaian pemanfaatan utang untuk kegiatan produktif tidak dapat diukur secara memadai, dan kesinambungan fiskal dan kemampuan membayar kembali utang pemerintah pada masa mendatang berpotensi terganggu,” tulisnya.

BPK pun memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk menyusun kerangka kerja mengenai manajemen risiko keuangan negara, parameter hingga indikator pembiayaan, menyempurnakan kebijakan dalam penetapan yield, dan menetapkan kebijakan monitoring dalam menetapkan estimasi yield surat utang.

Utang baru dari Bank Dunia

Bank Dunia atau World Bank beberapa waktu lalu menyetujui pinjaman baru sebesar 500 juta dollar AS yang diajukan pemerintah Indonesia. Utang baru dipakai untuk memperkuat sistem kesehatan nasional.

Baca juga: Jokowi Tarik Utang Baru Rp 13 Triliun dari Bank Dunia

Beberapa di antaranya yakni penambahan tempat isolasi pasien virus corona, tempat tidur rumah sakit, penambahan tenaga medis, lab pengujian, serta peningkatan pengawasan dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi.

Selain itu, pinjaman dari Bank Dunia juga akan dipakai pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memperluas program vaksinasi Covid-19.

Pada 10 Juli 2021 lalu, Bank Dunia juga sudah menyetujui utang baru yang diajukan pemerintah Indonesia sebesar 400 juta dollar AS.

Sehingga total utang baru yang ditarik Indonesia selama bulan Juni 2021 yakni sudah mencapai sebesar 900 juta dollar AS atau setara dengan Rp 13,04 triliun (kurs Rp 14.480).

Baca juga: Fakta Seputar Utang Luar Negeri RI yang Kini Rp 5.803 Triliun

"Selain untuk mendukung vaksinasi gratis dari pemerintah, utang ini akan membantu sistem kesehatan Indonesia menjadi lebih baik dan memperkuat sistem pengawasan melalui pengujian dan pelacakan kasus-kasus baru Covid-19," jelas Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dikutip dari laman resmi Bank Dunia.

Lanjut Budi, dana pinjaman juga akan dialokasikan untuk penanganan dan pencegahan varian virus baru dari virus corona.

Masih dikutip dari laman Bank Dunia, pemerintah Indonesia menyebutkan bahwa program vaksinasi gratis akan menjangkau 181,5 juta orang berusia dewasa.

Baca juga: Membandingkan Utang Luar Negeri RI di Era Jokowi dan SBY

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com