Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesangon Tak Jelas, Eks Karyawan Merpati Kerja Jadi Driver Ojol hingga Kuli Bangunan

Kompas.com - 23/06/2021, 12:05 WIB
Fika Nurul Ulya,
Yoga Sukmana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Paguyuban Pilot Eks-Merpati (PPEM) mengirimkan surat terbuka kepada Presiden RI Joko Widodo menuntut hak-hak karyawan yang belum dibayarkan oleh PT Merpati Nusantara Airlines (PT MNA).

Ketua Paguyuban Pilot Eks-Merpati Anthony Ajawaila mengatakan, akibat penundaan hak karyawan seperti pesangon dan dana pensiun, nasib mantan karyawan Merpati Airlines hancur. Apalagi, saat pandemi Covid-19 menyerang.

"Banyak yang sakit, banyak yang meninggal dunia, banyak yang menjadi supir ojol, kuli bangunan, perceraian, dan masih banyak lagi," kata Anthony dalam Pembacaan Surat Terbuka Kepada Presiden secara virtual, Rabu (23/6/2021).

Baca juga: BPK Khawatirkan Bengkaknya Utang Pemerintah di Era Jokowi

Anthony meyakini, bila karyawan eks-Merpati Airlines mendapat hak-hak secara utuh, maka akan membantu kehidupannya di masa tua lebih baik.

"Tapi (karena hak belum terpenuhi), itulah gambaran bagaimana hancurnya teman-teman, hanya karena kita belum mendapat hak-hak kita secara utuh," beber Anthony.

Kendati begitu Anthony menegaskan, pihaknya tak akan berhenti sampai di situ. Pengiriman Surat Terbuka kepada Presiden RI merupakan langkah awal yang harus terus diperjuangkan.

Meski dia mengakui, berbagai langkah yang dilakukan sejak tahun 2016 belum mendapat respons apapun.

"Saat ini kita berpikir, kenapa enggak kita yang bergerak? Kenapa enggak pilot yang bergerak? Memang selama ini belum pernah kita duduk dan menjadi motor utama, kita pilot eks Merpati Nusantara Airlines akan ada di garda terdepan," pungkas Anthony.

Baca juga: Tuntut Pesangon, Eks Karyawan Merpati Airlines Kirim Surat ke Jokowi

Merpati Airlines mulai berhenti beroperasi pada 1 Februari 2014 dan menyebabkan adanya penundaan hak-hak normatif kepada 1.233 karyawan.

Kemudian pada 22 Februari 2015, perseroan mengeluarkan Surat Pengakuan Utang (SPU), dengan memberikan sebagian hak, yakni sebesar 30 persen. Janjinya, hak akan rampung pada Desember tahun 2018.

Namun pada kenyataannya, SPU berubah menjadi Penundaan Kewajiban Penyelesaian Utang (PKPU) pada 14 November 2018 di Pengadilan Niaga Surabaya, dengan syarat Merpati harus beroperasi untuk menyelesaikan hak-hak karyawannya.

Alhasil, belum ada kejelasan kapan pesangon dan dana pensiun akan dibayar perusahaan.

Baca juga: Korea Utara Krisis Pangan, Harga Pisang Capai Rp 640.000 Per Kg

Mengutip Surat Terbuka yang disampaikan kepada Presiden, PPEM meminta pertolongan Presiden untuk membantu menyelesaikan masalah, mengingat Merpati pernah menjadi agen pembangunan membuka akses udara ke daerah terpencil.

Asal tahu saja, Merpati beroperasi pada tahun 1962 dan melayani rute penerbangan ke daerah-daerah terpencil di Indonesia, seperti Kalimantan, Papua, Nusa Tenggara, Maluku dan sekitarnya.

Di antara mereka pun, banyak pilot yang telah gugur dalam tugas. Lebih lanjut PPEM mengaku tak punya kuasa jika Merpati harus ditutup dan dilikuidasi negara. Namun mereka tak ingin seperti kata pepatah habis manis sepah dibuang.

Baca juga: Hong Kong Setop Sementara Penerbangan Garuda Indonesia, Ini Penyebabnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com