Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dradjad H Wibowo
Ekonom

Ekonom, Lektor Kepala Perbanas Institute, Ketua Pembina Sustainable Development Indonesia (SDI), Ketua Pendiri IFCC, dan Ketua Dewan Pakar PAN.

Menyoal Percepatan Vaksinasi, setelah Presiden Tak Bisa Temukan Obat buat Pasien Covid-19 di Apotek

Kompas.com - 25/07/2021, 19:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Percepatan semakin mendesak karena laju vaksinasi kita masih lambat. Untuk mencapai proporsi 5 persen pertama dari penduduk tervaksin lengkap, Indonesia perlu waktu 5,5 bulan lebih.

Bandingkan dengan negara-negara lain. AS hanya perlu 1,5 bulan, Inggris 3 bulan lebih sedikit. Adapun Malaysia 4 bulan kurang, tapi populasi dan geografinya jauh lebih ringan dibanding Indonesia.

Lalu terobosan apa untuk mempercepat vaksinasi?

Di Kompas.com pada akhir Desember 2020, saya pernah mengusulkan “vaksinasi bisnis”. Pemerintah menyebutnya sebagai vaksinasi gotong royong (dibayar oleh perusahan) dan mandiri (dibayar oleh individu).

Baca juga: Pemulihan Ekonomi dan Vaksinasi: Indonesia di Persimpangan Jalan

Saya memaklumi penentangan terhadap vaksinasi berbayar, yang antara lain karena rumor perburuan rente. Saya sepakat dengan alasan ini.

Namun, apakah kita membatalkan proyek vital seperti pembangkit listrik karena ada korupsi? Atau, kita hukum koruptornya tapi proyeknya jalan terus? Tentu, yang kedua yang kita pilih.

Mendudukkan ulang vaksin berbayar

Vaksinasi bisnis juga sangat pro-keadilan ekonomi. Subsidi BBM dihapuskan antara lain karena kelompok kaya ikut menikmati subsidi.

Vaksinasi ini lebih parah dari subsidi BBM karena orang kaya memperolehnya secara gratis. Dengan vaksinasi bisnis, orang kaya ikut membayar.

Secara fiskal, vaksinasi bisnis ini sangat pruden. Buat contoh kasus, kita pakai vaksin Pfizer, yang Indonesia memesan 50 juta dosis. Karena Pfizer masih memakai “harga pandemi” 19,50 dollar AS per dosis, nilainya adalah Rp 14 triliun-an.

Jika vaksin Pfizer dibuat berbayar, katakanlah Rp 500.000 per dosis, negara memperoleh Rp 25 triliun. Surplusnya bisa dipakai membayar tunggakan negara kepada RS atau membiayai riset obat dan vaksin.

Saya yakin, dibanderol Rp 1 juta lebih pun vaksin Pfizer masih laku. Buktinya, tidak sedikit orang kaya Indonesia bersedia mengeluarkan minimal Rp 30 juta untuk memperoleh vaksin Pfizer atau Moderna di AS.

Baca juga: WNI Rela Ikut Tur Vaksinasi ke AS, Bayar Jutaan Pakai Jasa Agen Perjalanan

Para pebisnis pun sangat membutuhkan kedua vaksin ini untuk memenuhi persyaratan perjalanan ke negara-negara maju.

Jangan lupa, Pfizer sudah mulai bernegosiasi dengan Uni Eropa pada harga 54 dollar AS per dosis. Untuk “harga normal”, eksekutif Pfizer Frank D’Amelio menyebut angka 150-175 dollar AS per dosis. Dengan harga tersebut, mana kuat Indonesia menggratiskannya?

Jadi, saya usul agar pemerintah tetap menjalankan vaksinasi bisnis ini. Namun, pilihan vaksinnya harus sesuai dengan preferensi target dan jangan mengambil vaksin hibah.

Sebagai penutup, saya kembali usul agar negara lebih masif membuat dan menyebarkan konten vaksinasi yang ilmiah.

Karena, tidak sedikit rakyat yang takut atau bahkan anti-vaksinasi akibat misinformasi sehingga laju vaksinasi terhambat. Jadi, masalah ini perlu ditangani serius.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com