Oleh: Frangky Selamat
SEJUMLAH praktisi bisnis yang diundang ke kampus untuk berbagi pengalaman berwirausaha kepada mahasiswa kerap kali mengutarakan jurus ATM alias "amati, teliti, modifikasi" atau ada yang menyebut "amati, tiru, modifikasi" sebagai salah satu kunci sukses membangun dan mengembangkan usaha.
Jurus ATM mendorong calon wirausaha untuk melihat ke pasar yang terdiri atas sekelompok konsumen aktual atau potensial dari produk yang akan ditawarkan.
Jika mau disebut sebuah pendekatan, ATM mendorong wirausaha mencari data dan informasi, mengenai kebutuhan dan kenginan pasar, dengan mengambil jalan pintas, yaitu melihat apa yang sudah dilakukan kompetitor.
Praktik ini sudah banyak dilakukan pebisnis yang membuat kemiripan hingga sulit dibedakan oleh konsumen. Mengandalkan tren sesaat dan berasumsi pasar akan menyukai tawaran serupa tetapi memberikan alternatif berbeda.
Akibatnya banyak bisnis serupa bermunculan menawarkan produk sejenis, hanya kemasan, variasi, dan nama merek sebagai pembeda.
Bagi wirausaha pendekatan ATM dianggap dapat meminimalkan risiko yang mesti diambil. Produk kompetitor yang berhasil dianggap telah memberikan gambaran sesungguhnya tentang pasar yang akan dilayani.
Daripada harus memulai dari nol, yang belum tentu berhasil, lebih baik memilih cara pragmatis. Barangkali seperti itu pemikirannya.
Walhasil, ada yang berhasil, tidak sedikit yang berumur pendek, alias bisnisnya tidak lanjut. Apakah ini salah?
Baca juga: Apa Itu Wirausaha dan Kewirausahaan?
Ash Maurya (2012) penulis buku "Running Lean, Iterate from Plan A to a Plan that Works" mengungkapkan bahwa terdapat kesalahpahaman mengenai bagaimana produk sukses dibangun.
Media menyenangi cerita indah visi wirausaha merancang dan mengembangkan produk, kemudian menyusun bagan langkah-langkah mencapainya. Realitas yang terjadi tidak sesederhana itu. Jatuh bangun mengiringi keberhasilan.
Jurus ATM seperti mau mengeliminasi bagian ini. Jika ada cara lebih mudah kenapa mengambil yang lebih sulit. Tapi karakter wirausaha yang berani mengambil risiko terukur (calculated risk taking) tidak terjadi. Malah cenderung menghindari risiko (risk averse).
Lebih lanjut Maurya mengemukakan pendekatan klasik yang produk sentris. Fokus pada pengembangan produk tetapi melupakan validasi dari pelanggan atas produk itu.
Sejatinya pelanggan dilibatkan dari awal yaitu identifikasi kebutuhan dan keinginan yang belum terpenuhi. Atau mengenai problem yang belum sepenuhnya mereka peroleh solusinya.
Pelanggan tidak akan mengungkapkan secara riil, produk apa yang mereka perlukan. Steve Job mengatakan, "It is not the customer’s job to know what they want." Memang bukan tugas pelanggan untuk mengetahui yang mereka inginkan karena justru itu menjadi tugas wirausaha.