UNTUK mendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional serta menekan laju defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah tengah berupaya mengoptimalkan potensi penerimaan negara salah satunya cukai.
Mengacu pada Rencana APBN (RAPBN) tahun 2022, penerimaan negara yang berasal dari cukai ditargetkan mencapai Rp 203,9 Triliun. Nominal tersebut naik hampir 12 persen (y-o-y), melonjak sangat tajam mengingat rata-rata kenaikan anual target cukai hanya berada pada kisaran 5 persen dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.
Alhasil, porsi cukai terhadap total pendapatan di tahun depan juga akan meningkat menjadi 12 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun 2021 yang berkontribusi sebesar 10 persen.
Peningkatan yang signifikan di tahun 2022 dikarenakan rencana pemerintah untuk menaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang mendominasi lebih dari 90 persen dari total penerimaan cukai. Apalagi, berdasarkan data Kementerian Keuangan, realisasi CHT juga terus menunjukan progres yang positif sejak 2017.
Pada 2020 misalnya, realisasi penerimaan cukai mencapai Rp 176,3 triliun, melampaui target Rp 172,2 triliun, ditopang oleh dominasi CHT yang kontribusinya mencapai 95 persen. Alhasil, produk hasil tembakau mampu menyokong penerimaan negara di masa pandemi, meskipun pemerintah telah menaikan tarif CHT hingga double digit dan adanya pelemahan daya beli masyarakat.
Selain itu, Dana Bagi Hasil (DBH) yang bersumber dari CHT turut memegang peranan penting dalam membantu menambal defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan hingga menolong penanganan pandemi Covid-19.
Baca juga: Dua Sisi Cukai Tembakau
Indikator-indikator tersebut yang membuat pemerintah optimis akan tercapainya target penerimaan cukai tahun 2022.
Namun, pemerintah perlu cermat dalam mengambil kebijakan karena konsumsi rokok yang merupakan sasaran utama CHT bersifat inelastis. Ini berarti masyarakat tetap mengonsumsi walaupun terjadi kenaikan harga. Meskipun demikian, preferensinya bersifat elastis di mana terjadinya kenaikan harga akibat CHT akan membuat masyarakat menurunkan kualitas konsumsi rokok misal dari golongan 1 ke golongan 2 atau bahkan beralih ke rokok ilegal.
Malaysia menjadi salah satu contoh kasus bahwa kenaikan cukai eksesif menghasilkan permintaan rokok illegal yang tinggi sehingga berakibat hilangnya potensi negara dan matinya industri rokok. Alhasil, pemerintah Indonesia perlu untuk mencari tarif CHT yang optimal agar tidak kehilangan sumber pendapatan.
Di sisi lain, untuk mengoptimalkan penerimaan cukai negara sekaligus mengatur tata kelolanya agar tercapai tujuan ekonomi dan non ekonomi seperti pendapatan negara meningkat, perluasan kesempatan kerja, dan pembatasan konsumsi atas dasar aspek kesehatan, maka diperlukan peta jalan industri HT. Hal ini dkarenakan agar pelaku usaha memiliki kepastian dalam menjalankan bisnis.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.